PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan ilmu psikologi
berperan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Berbagai macam
landasan pada psikologi ini menunjang pembelajaran ini menjadikan peserta didik
merasa menyenangkan ketika di dalam kelas dan materi pembelajaran tercapai
secara efektif dan efisien. Tercapainya tujuan atau kompetensi yang menunjukkan
peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Hal ini berpengaruh langsung pada
peserta didik akan malasnya berangkat ke sekolah, kurang memperhatikan
penyampaian materi yang disampaikan pendidik dan kurang berminatnya peserta
didik dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh pendidik. Hal ini menyebabkan
adanya teori – teori belajar menjadikan bekal sebagai arahan pada pendidik
dalam menjalani proses belajar mengajar dengan karater siswa yang beraneka
ragam, unik dan berbagai ciri.
Teori sebagai
sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan sebab
akibat diantara variabel yang saling bergantung. Sedang Belajar adalah
perubahan tingkah laku yang relatif tetap terjadi sebagai hasil latihan atau
pengalaman. Perubahan ini harus relatif permanen dan tetap ada untuk
waktu yang cukup lama. Oleh karena itu sangat dibutuhkan teori-teori belajar.
Kebutuhan akan teori menjadi hal yang penting. Snelbecter dalam Ratna Wilis
(1991:1), berpendapat bahwa perumusan teori itu bukan hanya penting, melainkan
vital bagian psikologi dan pendidikan untuk dapat maju, berkembang dan
memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap bidang. Untuk itu
pemahaman tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang bersifat teoritis dan
telah diuji kebenarannya melalui ekspreimen sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan
hal tersebut melahirkan teori belajar dan teori instruksional. Teori belajar
bersifat deskriptif dalam membicarakan proses belajar, sedangkan teori
instruksional lebih bersifat preskriptif dan menerangkan apa yang harus
dilaksanakan untuk membicarakan masalah-masalah praktis didunia pendidikan
(Snelbecker, 1974 dalam teori, 1997), sedangkan teori instruksional adalah
preskriptif. Artinya teori belajar mendeskripsikan terjadinya proses belajar,
sedangkan teori instruksional mendeskripsikan strategi atau metode pembelajaran
yang optimal untuk memudahkan proses belajar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar
belakang yang sudah penulis uraikan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan keterampilan teknis?
2.
Bagaimana cara menyusun alat penilaian hasil belajar?
3.
Bagaimana cara menyusun strategi instruksional?
4.
Bagaimana mengembangkan bahan instraksional?
5.
Bagaimana menyusun desain dan melaksanakan evaluasi sumatif dan formatif?
1.3 Tujuan
Penelitian.
1. Untuk
mengetahui keterampilan teknis.
2. Untuk
mengetahui cara menyusun alat penilaian.
3. Untuk mengetahui cara menyusun strategi
instruksional.
4. Untuk
mengembangkan bahan instraksional.
5. Untuk
menyusun desain dan melaksanakan evaluasi sumatif dan formatif.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Keterampilan
Teknis.
Keterampilan teknis adalah kemampuan seseorang
melaksanakan bidang tugas yang dihadapi. Kemampuan ini memungkinkan seseorang disebut
tukang, ahli atau pakar di bidangnya. Sebagai misal, kemampuan pelajar
menguasai mata pelajaran dan mengerjakan soal ujian, tukang kebersihan
membersihkan halaman, seorang pakar menganalisis masalah, dokter menangani
pasien, sopir menjalankan kendaraan dan sebagainya.
Kemampuan ini memiliki tingkatan-tingkatan, dan
tingkatan tersebut menentukan nilai keahlian seseorang. Keterampilan teknis
menentukan nilai keterpercayaan seseorang di hadapan orang lain yang
membutuhkan. Kemampuan tukang kayu membuat mebeler dan teknisi mereparasi
kendaraan memungkinkannya dibutuhkan dan dihargai oleh mereka yang
mempekerjakan. Kemampuan siswa mengerjakan soal ujian akan menentukan nilai
yang diberikan oleh guru atau dosen kepadanya.
Sekolah dan lembaga-lembaga pelatihan pada dasarnya
hanya menekankan pembinaan keterampilan teknis. Siswa dilatih untuk mampu
mengerjakan soal melalui proses pembelajaran, Pelajaran seni dan keterampilan
mengajarkan kemampuan menerapkan bidang tersebut. Semakin tinggi tingkat
penguasaan materi pelajaran menentukan level keberhasilan seseorang.
2.
Menyusun
Alat Penilaian Hasil Belajar.
Evaluasi atau penilaian adalah
suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi
suatu program. Jadi, pada dasarnya yang dinilai adalah program, yaitu suau
kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya, lengkap dengan tujuan dari
kegiatan tersebut. Aspek yang dinilai dari program itu ada dua macam, yaitu
tingkat keberhasilan dan tingkat efisiensi pelaksanaan program.
Dalam suatu proses belajar
mengajar, yang melaksanakan evaluasi adalah guru, yaitu orang yang merencanakan
dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Guru sebagai figur yang selalu
berinteraksi dengan murid memerlukan evaluasi formatif secara teratur agar
dapat memperbaiki atau menyempurnakan proses belajar mengajar yang
dilaksanakan. Selain itu, gurulah yang paling menghayati permasalahan
yangdihadapi oleh murid-muridnya sehingga dapat mencari upaya cara
menanganinya.
Evaluasi atau penilaian adalah
kegiatan untuk mengetahui apakah tindakan yang telah dikerjakan cukup berhasil
atau tidak. Jadi, yang dinilai atau dievaluasi adalah program, yaitu suatu
kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya, lengkap dengna tujuan dari
kegiatan tersebut.Ada tiga istilah yang sering digunakan, yaitu berikut ini :
1) Pengukuran
2) Penilaian
atau evaluasi
3) Pengambilan
keputusan
Ketiga
istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda karena tingkat penggunaannya yang
berbeda. Pada pengukuran adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan informasi atau
data secara kuantitatif, sedangkan penilaian adalah kegiatan untuk mengetahui
apakah suatu program telah berhasil dan efisien. Jadi, untuk melakukan
penilaian diperlukan data yang baik mutunya dan salah satu sumber datanya
adalah hasil pengukuran.
Pengambilan
keputusan atau kebijaksanaan adalah tindakan yang diambil oleh seseorang atau
lembaga berdasarkan data atau informasi yang telah diperoleh, atas dasar
pengukuran dan penilaian.
Untuk
mengukur prestasi belajar diperlukan alat ukur yang disebut tes. Tes adalah himpunan
pertanyaan yang harus dijawab oleh orang yang dites (testee). Dalam hal ini
oleh siswa. Dalam tes prestasi belajar, yang hendak diukur adalah tingkat
kkemampuan siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang telah diajarkan oleh
guru.
1. Syarat-syarat
tes yang baik
Tes
yang baik mempunyai beberapa syarat-syarat penting sebagai berikut ini :
a. Harus
valid (sahih) atau hanya mengukur apa yang hendak diukur.
Misal, tes untuk bidang
studi IPS, setiap buitir soalnya harus mengukur hanya pengetahuan IPS saja. Namun,
kandang-kadang tidak semua soal yang ada hanya mengukur pengetahuan IPS. Ada
beberapa soal yang sebetulnya mengukur pengetahuan agama atau bahasa. Jika ada
tes yang mengukur lebih dari satu aspek (misalnya, IPS, agama dan bahasa) maka
tes yang demikian disebut tes yang kurang valid (kurang sahih).
b. Harus
andal (reliable)
Keandalan, dalam hal
ini meliputi kecermatan atau ketetapan (prescision) dan keajegan (consistency)
dari hasil pengukuran yang dilakukan. Sebuah tes dengan jumlah butir soal yang
mempunyai tingkat kesukaran sedang tentu akan memberi informasi yang lebih
teliti, dibandingkan tes yagn soalnya sedikit dan tingkat kesukaraannya rendah
(mudah) atau berat sukar (di luar target). Dengan akta lain, soal-soal sebuah
tes tidak boleh terlalu jauh di atas atau di bawah kemampuan siswa dan tingakt
kesukaran butir-butir soal sebaiknya homogen. Tidak boleh terlalu mudah atau
terlalu sukar.
2. Merancang
Alat Evaluasi atau Tes.
Sebelum
menyusun sebuah tes, terlebih dahulu harus memperhatikan hal-hal berikut.
a. Tujuan
tes
Dalam bidang
pendidikan, tujuan tes dapat dipakai untuk mengetahui penguasaan peserta didik
dalam pokok bahasan atau subpokok bahasan tertentu setelah materi diajarkan.
Selain itu, dapat pula untuk mengethaui kesulitan belajar peserta didik atau
siswa (diagnostik tes). Oleh karena tu, tujuan tes harus dibuat berdasarkan
pokok bahasan/subpokok bahasan yang diajarkan.
b. Penyusunan
kisi-kisi tes
Kisi-kisi tes atau
tabel spesifikasi (test blue print), harus dibuat sebelum seseorang membuat
atau menyusun tes. Kisi-kisi tes merupakan rambu-rambu ruang lingkup dan isi
soal yang akan diajukan. Sebelum membuat kisi-kisi tes, terlebih dahulu harus
melihat kurikulum sekolah yang berlaku.
3. Menyusun
Alat Evaluasi atau Tes
a)
Dalam menyusun soal
atau tes pertama-tama harus dibuat indikator tes atau TIK, seperti telah
disebutkan, yang langkah-langkahnya sebagai berikut :
1)
Memilih Kompetensi
Dasar (KD)
2)
Memilih materi pokok,
hasil belajar dan indikator materi
3)
Membuat indikator tes
atau TIK
4)
Menulis soal berdasrakan
indikator tes yang telah dibuat
c. Kriteria
indikator tes yang baik :
1)
Membuat ciri-ciri dari
TIU yang hendak diukur
2)
Membuat satu kata kerja
operasional yang dapat diukur
3)
Berkaitan erat dengan
materi pokk hasil belajar beserta indikator materi
4)
Dapat dibuat soal
d. Kriteria
pokok penulisan soal :
1)
Harus sesuai dengan
indikator tes
2)
Pokok soal harus
dirumuskan secara jelas dan tegas
3)
Pernyataan yang ada
pada pokok soal atau pada pilihan jawaban harus singkat, padat dan jelas
4)
Pokok soal jangan
memberi petunjukke arah jawaban yangbenar
5)
Pilihan jawaban harus
homogen dan logis ditinjau dari segi materi
6)
Panjang rumusan pilihan
jawaban harus relatif sama
7)
Pilihan jawaban jangan
menggunakan pernyataan, semua pilihan jawaban salah atau semua pilihan jawaban
benar
8)
Pilihan jawaban yang
menggunakan angka, harus diurutkan dari kecil ke besar
9)
Setiap soal harus
mempunyai satu jawaban yang benar atau paling benar
10)
Butir soal jangan
bergantung pada jawaban soal-soal sebelumnya.
3.
Menyusun
Strategi Instraksional.
Strategi intruksional adalah suatu
komponen sistem intruksional yang masih terbelakang. Ia masih belum berkembang
seperti komponen- komponen yang lain. Menurut Dick dan Carey (1985) mengatakan
bahwa strategi intruksional menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu set
bahan intruksional dan prosedur prosedur yang akan digunakan bersama bahan-
bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa.
Penyusunan strategi instruksional
haruslah didasarkan atas tujuan instruksional yang akan dicapai sebagai
kriteria utama. Di samping itu, penyusunan tersebut didasarkan pula atas
pertimbangan lain, yaitu hambatan yang mungkin di hadapi pengembang
instruksional atau pengajar seperti waktu, biaya, dan fasilitas. Tidak ada
strategi yang tepat untuk mencapai semua tujuan misalnya pada urutan kegiatan
instruksional pada penyajian, belum tentu selalu UCL (uraian, contoh, dan
latihan) mungkin dapat berbentuk CUL. Sedangkan urutan kegiatan instruksional
pada pendahuluan yang tersusun DRT (deskripsi singkat, relevansi, dan TIK) dan
penutup yang terdiri dari TUT (tes formatif, umpan balik, dan tindak lanjut)
tampaknya tidak perlu mengalami perubahan. Setiap urutan kegiatan seperti
DRT-UCL-TUT atau urutan yang lain, selalu diikuti pemilihan metode dan media
serta penentuan waktu untuk mencapai tujuan instruksional khusus. Khusus
penentuan waktu bagi setiap kegiatan, di samping menggunakan kegiatan sebagai
suatu kriteria, pengembang instruksional juga menggunakan jenis metode dan
media sebagai kriteria lain. Ini berarti penentuan waktu setiap kegiatan
tersebut dilakukan atas pertimbangan langkah dalam urutan kegiatan seperti
D,R,T,U,C,L,T,U dan komponen metode dan media yang digunakan. Perubahan pada
metode dan media tersebut memungkinkan perubahan waktu yang dibutuhkan pengajar
dan siswa. Oleh karena itu, penyusunan strategi instruksional harus dilakukan
dengan mengintegrasikan keempat komponen yang tergabung di dalamnya, yaitu
urutan kegiatan instruksional, metode, media dan waktu.
Berikut ini diuraikan bagaimana
mengisi tabel untuk menyusun strategi instruksional Menurut Ihwanadani:
1)
Mengisi nomor TIK yang
strategi instruksionalnya akan disusun. Ini berarti bahwa pengembang
instruksional akan menyusun satu strategi instruksional untuk satu TIK.
2). Kolom satu telah di isi dengan pendahuluan,
penyajian, dan penutup. Urutan ini tidak perlu di rubah. Pada kolom dua
anda mulai memikirkan urutan kegiatan instruksional yang sesuai
untukmenghasilkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tercantum dalam
TIK.
a) Kolom
pendahuluan ada tiga kegiatan yang harus anda isikan, yaitu: D (Deskripsi
Singkat), R (Relevansi), dan T(Tujuan Instruksional Khusus). Urutan mana yang
ingin anda gunakan? DRT, RTD, TDR, RDT, DTR atau TRD. Mengapa anda memilihnya,
mengapa tidak urutan yang lain? Rasional pemilihan urutan ini penting untuk
anda jawab sendiri agar anda lebih menyelami kebaikan urutan kegiatan yang anda
lakukan. Urutan mana pun yang anda pilih, ketiga kegiatan tersebut haruslah
lengkap.
b) Dalam
penyajian anda kegiatan yang harus anda isikan dalam tabel, yaitu: U (Uraian),
C (Contoh), dan L (Latihan). Urutan mana yang akan anda pilih? UCL, CLU, LUC,
CUL, ULC atau LCU? Pemilihan tersebut sangat penting untuk anda jawab sendiri.
Beberapa pedoman yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan urutan
kegiatan dalam penyajian adalah sebagai berikut:
1).
UCL adalah penyajian yang konservatif dimulai dengan memberikan uraian tentang
pengertian suatu konsep, prinsip atau prosedur, diikuti dengan contoh
penerapannya dalam kehidupan sehri-hari dan diakhiri dengan latihan untuk
menguasainya. Dalam metode instruksional urutan kegiatan dalam penyajian ini
disebut metode deduktif. Secara logis siswa akan bergerak dari hal yang
bersifat umum kepada yang khusus. Strategi ini sesuai untuk kebanyakan siswa
dan kebanyakan tujuan instruksional, khususnya untuk mengajarkan terminology
dan teknik melaksankan sesuatu yang sebelumnya masih belum dikenal siswa.
2) CLU adalah penyajian yang dimulai dari
pemberian contoh atau kasus diikuti oleh latihan memecahkannya dan diakhiri
dengan uraian atau generalisasi dari isi pelajaran. Secara logis siswa akan
bergerak dari yang khusus menuju yang umum. Metode instruksional urutan ini
dikenal dengan metode induktif. Strategi ini sesuai untuk mengajarkan sikap,
pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan untuk siswa yang telah mempunyai
latar belakang atau pengalaman cukup dalam bidang yang dipelajari.
3)
LUC adalah penyajian yang dimulai dari pemberian latihan atau percobaan diikuti
dengan uraian dan diakhiri dengan contoh. Urutan penyajian ini tepat digunakan
untuk menimbulkan dinamika siswa dalam belajar melalui coba- coba. Tetapi,
latihan tersebut tidak boleh diberikan terlalu lama agar tidak menimbulkan
frustasi. Siswa harus segera diberi uraian tentang isi pelajaran dan contoh
penerpannya. Urutan kegiatan ini sangat sesuai untuk mengajarkan sesuatu yang
tidak mudah menimbulkan bahaya bagi siswa yang telah mempunyai latar belakang
pengetahuan dalam bidang yang sedang dipelajari.
4)
CUL adalah penyajian yang dimulai dari pemberian contoh diikuti dengan uraian
tentang konsep, prinsip, atau prosedur yang terkandung di dalamnya dan diakhiri
dengan latihan menerapkannya. Strategi ini sama dengan CLU, bergerak dari
hal-hal yang bersifat khusus menuju umum. Urutan penyajian ini lebih tepat
untuk siswa yang baru mempunyai pengalaman sedikit dalam bidang tersebut.
5) ULC
adalah penyajian yang dimulai dari pemberian uraian diikuti dengan uaraian
tentang konsep, prinsip, atau prosedur yang dipelajari diikuti dengan latihan
untuk menguasainya dan akhirnya ditutup dengan contoh penerapan apa yang
dipelajarinya dalam kehidupan sehari- hari. Urutan penyajian ini sesuai untuk
mengajarkan keteampilan gerak melalui penjelasan, kemudian percobaan melakukan
gerak. Selanjutnya baru di susul dengan contoh untuk mambandingkan apa yang
dilakukannya dengan yang seharusnya.
6)
LCU adalah penyajian yang memberikan kesempatan mencoba terlebih dahulu
kemudian diikuti dengan contoh untuk perbandingan dan diakhiri dengan uraian
atau kesimpulan. Urutan penyajian ini tepat digunakan untuk mengembangkan
kreativitas dan keberanian siswa mencobakan ide yang ada pada dirinya. Karena
proses ini melalui kegiatan mempelajari coba-coba, sesuatu yang tepat digunakan
untuk tidak berbahaya, tidak mengandung resiko tinggi atau digunakan untuk
siswa yang telah memiliki latar belakang cukup dalam bidang tertentu.
3. Seluruh kolom 2
diisi dengan pertimbngan di atas. Dengan selesainya pengisian seluruh kolom 2 yang menunjukkan urutan kegiatan
instuksional. Selanjutnya memasuki kolom 3 dengan rosedur pengisian yang berbeda. Bila anda
perhatikan akan tampak bahwa kolom 3 masih berada di awah urutan kegiatan instruksional. Kolom
tersebiut diisi dengan garis-garis besar materi yang akan iberikan pengajar dalam setiap urutan
kegiatan. Dalam kolom 3 ini pendesain instruksional enuliskan materi atau isi pelajaran secara
singkat untuk setiap TIK dimulai dari pendahuluan sampai ada penutup. Dengan demikian isi pelajaran
tersebut tidak saja mencerminkan apa (what) tetapi juga ara atau langkah-langkah (how).
4. Sebelum meneruskan pada berisi R atau T,
isilah lebih dahulu kolom 4, 5, dan 6
yang sehubungan dengan baris D. kolom 4 tentang metode yang akan digunakan ntuk kegiatan D, dan kolom 5 tentang media
yang dipilih untuk digunakan, sedangkan kolom 6
entang waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan D tersebut. Demikian pula
pengisian R, T, dan elanjutnya,
diselesaikan baris demi baris.
4.
Mengembangkan
Bahan Instruksional.
Dalam desain sistem pembelajaran, model
biasanya menggambarkan langkah-langkah atau prosedur yang perlu ditempuh untuk
menciptakan aktivitas pembelajaran yang efektif, efisien, dan menarik. Jadi
suatu model dalam pengembangan pembelajaran adalah suatu proses yang
sistematik dalam desain, konstruksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi
sistem pembelajaran.
Berdasarkan pada pengertian pengembangan pembelajaran, maka diperlukan sekurang-kurangnya lima kriteria yang harus dipenuhi dalam model pembelajaran yaitu: 1) mempunyai tujuan; 2) keserasian dengan tujuan; 3) sistematik; 4) mempunyai kegiatan evaluasi; dan 5) menyenangkan. Oleh karena itu, sistem pembelajaran dapat diibaratkan sebagai proses produksi yang terdiri dari bagian input-proses-output, yang saling terintegrasi.
Berdasarkan pada pengertian pengembangan pembelajaran, maka diperlukan sekurang-kurangnya lima kriteria yang harus dipenuhi dalam model pembelajaran yaitu: 1) mempunyai tujuan; 2) keserasian dengan tujuan; 3) sistematik; 4) mempunyai kegiatan evaluasi; dan 5) menyenangkan. Oleh karena itu, sistem pembelajaran dapat diibaratkan sebagai proses produksi yang terdiri dari bagian input-proses-output, yang saling terintegrasi.
Secara rinci tahap MPI (Model
Pengembangan Instruksional dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Mengidentifikasi
Kebutuhan Instruksional dan Menulis Tujuan Instruksional Umum.
Mengidentifikasi
kebutuhan instruksional adalah suatu proses untuk: a) menentukan kesenjangan
penampilan siswa yang disebabkan kekurangan kesempatan mendapatkan pendidikan
dan pelatihan pada masa lalu; b) mengidentifikasi bentuk kegiatan instruksional
yang paling tepat; c) menentukan populasi sasaran yang dapat mengikuti kegiatan
instrusional tersebut. Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan
instruksional diperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tidak
pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh siswa. Jenis
pengetahuan, keterampilan, dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis
besar saja, yang merupakan hasil belajar yang diharapkan dikuasai siswa setelah
pembelajaran. Hasil belajar ini disebut Tujuan Instruksional Umum (TIU), karena
sifatnya yang masih umum.
2. Melakukan
analisis intruksional
Analisis instruksional
adalah proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun
secara logis dan sistematis. Kegiatan tersebut dilakukan untuk
mengidentifikasi perilaku-perilaku khusus yang dapat menggambarkan perilaku
umum secara terperinci. Perilaku-perilaku khusus disusun sesuai dengan
kedudukannya, misalnya kedudukannya sebagai perilaku prasyarat, perilaku yang
menurut urutan gerakan fisik berlangsung lebih dulu, perilaku yang menurut
proses psikologi muncul lebih dulu atau secara kronologis terjadi lebih awal.
3. Mengidentifikas
Perilaku dan Karakteristik Siswa
Mengidentifikasi
perilaku awal siswa dimaksudkan untuk mengetahui siapa kelompok sasaran,
populasi sasaran, serta sasaran didik dari kegiatan instruksional. Istilah
tersebut digunakan untuk menanyakan siswa yang mana atau siswa sekolah apa,
serta sejauh mana pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka miliki
sehingga dapat mengikuti pelajaran tersebut.
4. Menulis
Tujuan Instruksional Khusus
Tujuan
Instruksional Khusus (TIK) terjemahan dari specific instructional
objective. Literature asing menyebutkan pula
sebagai objective atau enabling objective untuk
membedakannya dari general instructional objective, goal, atau terminal
objective, yang berarti tujuan instructional umum (TIU) atau tujuan
instruktional akhir. TIK dirumuskan dalam bentuk kata kerja yang dapat dilihat
oleh mata (observable). TIK merupakan satu-satunya dasar untuk menyusun
kisi-kisi tes, karena itu TIK harus mengandung unsur-unsur yang dapat
memberikan petunjuk kepada penyusun tes agar dapat mengembangkan tes yang
benar-benar dapat mengukur perilaku yang terdapat di dalamnya.
5. Menulis
Tes Acuan Patokan
Tes
acuan patokan dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan setiap siswa
terhadap perilaku yang tercantum dalam TIK. Adapun langkah-langkah dalam
menyusun tes acuan patokan adalah sebagai berikut: a) menentukan tujuan tes; b)
membuat table spesifikasi untuk setiap tes yaitu daftar perilaku, bobot
perilaku, persentase jenis tes, dan jumlah butir tes; c) menulis butir tes; d)
merakit tes; e) menulis petunjuk; f) menulis kunci jawaban; g) mengujicobakan
tes; h) menganalisis hasil ujicoba; i) merevisi tes.
5.
Menyusun
Desain dan Melaksanakan Evaluasi Sumatif dan Formatif.
Desain
adalah sebuah istilah yang diambil dari kata design (Bahasa Inggris) yang
berarti perencanaan atau rancangan. Ada pula yang mengartikan dengan
“Persiapan”. Di dalam ilmu manajemen pendidikan atau ilmu administrasi
pendidikan, perencanaan disebut dengan istilah planning yaitu “Persiapan menyusun suatu keputusan berupa
langkah-langkah penyelesaian suatu masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan
yang terarah pada pencapaian tujuan tertentu”.
Desain pembelajaran menurut istilah dapat
didefinisikan:
“Proses untuk menentukan metode
pembelajaran apa yang paling baik dilaksanakan agar timbul perubahan
pengetahuan dan keterampilan pada diri pembelajar ke arah yang dikehendaki
(Reigeluth).”
Rencana tindakan yang terintegrasi
meliputi komponen tujuan, metode dan penilaian untuk memecahkan masalah atau
memenuhi kebutuhan (Briggs).
Proses untuk merinci kondisi untuk
belajar, dengan tujuan makro untuk menciptakan strategi dan produk, dan tujuan
mikro untuk menghasilkan program pelajaran atau modul atau suatu prosedur yang
terdiri dari langkah-langkah, dimana langkah-langkah tersebut di dalamnya
terdiri dari analisis, merancang, mengembangkan, menerapkan dan menilai hasil
belajar (Seels & Richey AECT 1994).
Suatu proses desain dan sistematis untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien, serta membuat kegiatan
pembelajaran lebih mudah, yang didasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai
teori-teori pembelajaran, teknologi informasi, sistematika analisis, penelitian
dalam bidang pendidikan, dan metode-metode manajemen (Morisson, Ross&Kemp
2007).
Istilah pengembangan sistem
instruksional (instructional system development) dan desain instruksional
(instructional design) sering dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak
dibedakan secara tegas dalam penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada
perbedaan antara “desain” dan “pengembangan”. Kata “desain” berarti membuat
sketsa atau pola atau outline atau rencana pendahuluan. Sedang “Pengembangan”
berarti membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar,
lebih baik, lebih efektif dan sebagainya.[4]
Tujuan Desain Pembelajaran
Tujuan desain pembelajaran adalah
mencapai solusi terbaik dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan sejumlah
informasi. Menurut Morisson, Ross & Kemp (2007) terdapat empat komponen
dasar dalam perencanaan desain pembelajaran, yaitu :
Untuk siapa program ini dibuat dan
dikembangkan? (karakteristik siswa atau peserta ajar)
Anda ingin siswa atau peserta ajar
mempelajari apa? (tujuan)
Isi pembelajaran seperti apa yang paling
baik dipelajari? (strategi pembelajaran)
Bagaiamanakan cara anda mengukur hasil
pembelajaran yang telah dicapai? (prosedur evaluasi)
Peran Desain Pembelajaran
· Agar
belajar dapat bermakna dan efektif.
· Agar
tersedia atau termanfaatkan sumber belajar
· Agar
dapat dikembangkan kesempatan atau pola belajar
· Agar
belajar dapat dilakukan siapa saja secara berkelanjutan
Fungsi desain pembelajaran
· Meningkatkan
kemampuan pembelajaran (instruktur, guru, widyaiswara, dosen, dll)
· Menghasilkan
sumber belajar.
· Mengembangkan
sistem belajar mengajar.
· Mengembangkan
organisasi menjadi organisasi belajar.
· Sebagai
petunjuk arah kegiatan dalam mencapai tujuan.
· Sebagai
pola dasar dalam mengatur tugas dan wewenang bagi setiap unsur yang terlibat
dalam kegiatan
· Sebagai
pedoman kerja bagi setiap unsur, baik unsur guru maupun murid.
· Sebagai
alat ukur efektif tidaknya suatu pekerjaan, sehingga setiap saat diketahui
ketetapan dan kelambatan kerja.
· Untuk
bahan penyusunan data agar terjadi keseimbangan kerja.
· Menghemat
waktu, tenaga, alat dan biaya.
Model Desain Pembelajaran
Model desain pembelajaran sangat
diperlukan, karena dapat :
· Pengembangan
kemampuan guru atau dosen
· Pengembangan
sumber belajar.
· Pengembangan
sistem pembelajaran.
· Pengembangan
organisasi.
Evaluasi sumatif dan formatif
Evaluasi merupakan bagian dari sistem
manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian
pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak
akan mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan,
pelaksanaan serta hasilnya. Pemahaman terhadap dasar-dasar evaluasi dapat
membantu para pengembang kurikulum untuk merancang evaluasi yang sesuai kajian-kajian
teoritis yang relevan. Evaluasi dalam pengajaran tidak semata-mata dilakukan
terhadap hasil belajar, tetapi juga harus dilakukan revisi desain pengajaran
itu sendiri.
1. Evaluasi Formatif
Maksud dari evaluasi formatif adalah
evaluasi yang dilaksanakan di tengah-tengah atau pada saat berlangsungnya
proses pembelajaran, yaitu dilaksanakan pada setiap kali satuan pembelajaran
atau subpokok bahasan dapat diselesaikan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh
mana peserta didik “telah terbentuk” sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah
ditentukan. (Sudijono, 2007: 23) Untuk membahas evaluasi formatif ini, seperti
yang Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi katakan dalam bukunya “Pengelolaan
Pengajaran”, (Rohani dan Ahmadi, 1991: 173-175) perlu meninjau dari berbagai segi
sehingga akan mudah memahami bagaimana sebenarnya evaluasi ini. di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Formatif
Fungsi dari evaluasi formatif adalah
untuk memperbaiki proses belajar-mengajar.
b. Manfaat Evaluasi
Dalam evaluasi formatif ini, ada
beberapa manfaat yang dingkap oleh Suharsimi Arikunto yaitu manfaat bagi siswa,
guru dan program sekolah yang penjabarannya sebagai berikut:
1) Manfaat bagi siswa:
a) Digunakan untuk mengetahui apakah
siswa sudah menguasai bahan program secara menyeluruh atau belum
b) Merupakan penguatan bagi siswa dan
memperbesar motivasi siswa untuk belajar giat
c) Untuk perbaikan belajar siswa
d) Sebagai diagnosa kekurangan dan
kelebihan siswa
2) Manfaat bagi guru:
a) Mengetahui sampai sejauh mana bahan
yang diajarkan sudah dapat diterima oleh siswa
b) Mengetahui bagian-bagian mana dari
bahan pelajaran yang belum dikuasai siswa
3) Manfaat bagi program sekolah:
a) Apakah program yang telah diberikan
merupakan program yang tepat atau tidak
b) Apakah program tersebut membutuhkan
pengetahuan-pengetahuan prasyarat yang belum diperhitungkan
c) Apakah diperlukan alat, sarana, dan
prasarana untuk mempertinggi hasil yang akan dicapai atau tidak
d) Apakah metode, pendekatan dan alat
evaluasi yang digunakan sudah tepat atau tidak (Arikunto, 1996: 34-36)
c. Waktu Pelaksanaan
Sesuai dengan fungsi dan tujuan evaluasi
formatif, maka evaluasi ini dilakukan untuk menilai hasil belajar jangka pendek
dari suatu proses belajar mengajar atau pada akhir unit pelajaran yang singkat
yaitu satuan pelajaran. Sebab perbaikan belajar mengajar itu hanya mungkin jika
dilakukan secara sistematis dan bertahap.
d. Aspek Tingkah Laku Yang Dinilai
Aspek tingkah laku yang dinilai dari
evaluasi formatif ini cenderung terbatas pada segi kognitif (pengetahuan) dan
psikomotor (ketrampilan) yang terkandung dalam tujuan khusus pelajaran. Untuk
menilai segi afektif (sikap dan nilai), maka penggunaan penilaian formatif
tidaklah tepat. Sebab untuk menilai perkembangan segi afektif ini diperlukan
periode pengajaran yang cukup panjang.
e. Cara Menyusun Soal
Sesuai dengan fungsi evaluasi formatif,
maka evaluasi ini harus disusun dengan sedemikian rupa sehingga benar-benar
mengukur tujuan khusus pengajaran yang dicapai. Oleh karena itu, soal harus
dibuat secara langsung dengan menjabarkantujuan khusus pengajaran ke dalam
bentuk pertanyaan. Pada evaluasi formatif ini, masalah tingkat kesukaran dan
daya pembeda tiap-tiap soal tes tidak begitu penting.
f. Pendekatan Evaluasi Yang Digunakan
Sesuai dengan fungsi evaluasi formatif,
maka sasaran penilaian adalah kecakapan nyata setiap peserta didik. Oleh karena
itu, pendekatan dalam penilaian evaluasi formatif adalah penilaian yang
bersumber pada kriteria mutlak.
g. Cara Pengolahan Hasil Evaluasi
Ada beberapa cara pengolahan hasil
evaluasi formatif. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:
i. Menghitung presentase peserta didik
yang gagal dalam setiap soal. Dengan melihat hasil presentase ini, guru akan
dapat mengetahui sejauh mana tujuan khusus pengajaran (TKP) yang bersangkutan
dengan soal telah dicapai atau dikuasai oleh kelas.
ii. Menghitung presentase penguasaan
kelas atas bahan yang telah disajikan. Dengan kata lain, berapa persen kah dari
bahan yang telah disajikan itu dikuasai kelas. Cara pengolahan ini bertujuan
untuk mendapatkan keterangan, apakah keterangan apakah kriteria keberhasilan
belajar yang diharapkan telah tercapai.
iii. Menghitung presentase jawaban yang
benar yang dicapai setiap peserta didik dalam tes secara keseluruhan. Dengan
angka presentase ini, guru akan dapat mengetahui sampai berapa jauh penguasaan
setiap peserta didik atas bahan yang telah diajarkan. Dengan kata lain, sejauh
mana tingkat keberhasilan setiap peserta didik atas unit pengajaran yang telah
diajarkan ditinjau dari sudut kriteria keberhasilan belajar yang diharapkan
atau yang telah ditetapkan.
h. Penggunaan Hasil Evaluasi
Hasil
pengolahan evaluasi formatif sebagaimana disebutkan di atas, dapat digunakan
untuk keperluan-keperluan sebagai berikut:
i. Atas dasar angka presentase peserta
didik yang gagal dalam setiap soal. Guru dapat mempertimbangkan apakah bahan
pelajaran yang bersangkutan dengan soal tes perlu dibicarakan lagi secara umum
atau tidak.
ii. Atas dasar angka presentase
penguasaan kelas atas bahan yang telah disajikan, guru dapat menilai dirinya
sendiri mengenai kemampuannya dalam mengajar. Jika angka itu belum mencapai
kriteria keberhasilan umpamanya, maka guru akan mencari sebabnya dan kemudian
ia akan memikirkan perbaikan-perbaikan apa yang perlu diadakan agar proses
belajar mengajar dapat berjalan secara efisien dan efektif sehingga kriteria
keberhasilan itu dapat tercapai.
iii. Dengan mengetahui presentase
jawaban yang benar dari setiap peserta didik dalam tes secara keseluruhan, guru
dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ada pada setiap peserta didik
sehingga guru mendapat bahan yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan
apakah peserta didik perlu dapat bantuan atau pelayanan khusus dari guru untuk
mengatasi kesulitan dalam belajar. (Rohani dan Ahmadi, 1991: 173-175)
i. Contoh Evaluasi Formatif
Berikut ini akan disajikan bentuk-bentuk
contoh evaluasi formatif dengan berbagai pengolahan:
1) Mengolah hasil setiap tujuan khusus
pengajaran (TKP)
TKP merupakan penjabaran dari pokok
bahasan dalam satuan pengajaran. Dalam pengelolaan ini, kita mencari presentase
gagal pada setiap soal dari keseluruhan peserta didik pengikut tes.
Misalnya: pada satuan pelajaran IPA
untuk SD kelas V berdasarkan TKP-TKP yang ada disusun soal-soal tes sebagai
alat evaluasi. Setelah tes dilakukan, kita periksa dan kita hitung berapa
persen peserta didik yang gagal pada setiap soal.
Bidang pengajaran : IPA
Catur wulan : I
Kelas : V
Jumlah peseta didik : 40 orang
Pokok bahasan :
– tumbuh tumbuhan dan peristiwa alam
– hewan dan peristiwa alam
Soal-soal tes Presentase peserta didik
yang gagal
1. Sebutkan manfaat hutan bagi manusia ?
25 %
2. Apakah yang terjadi ketika terjadi
penebangan hutan secara liar ? 10 %
Soal no 1. Dari 40 orang pengikut tes
terdapat 30 orang peserta didik yang menjawab dengan tepat. Ini berarti ada 10
orang peserta didik yang gagal.
Jadi: 10 x 100 % = 25 % peserta didik
yang gagal.
40
2) Mengolah hasil evaluasi sebagai nilai
harian
Pada pengolahan evaluasi ini, pengolahan
didasarkan atas “ukuran mutlak” dengan mempergunakan rumus:
s.a = s.r x 10
s.i
s.a: skor akhir
s.r: skor real
s.i: skor ideal
10: skor 1-10
Skor akhir yang diperoleh peserta didik
ialah skor ideal atau skor yang berupa raw score (skor mentah) yang dicapainya,
dibagi dengan skor ideal (skor tertinggi yang mungkin dicapai bila semua soal
dikerjakan benar), kemudian hasil baginya dikalikan 10 (bila menggunakan skala
10 atau dikalikan dengan 100 (bila menggunakan skala 100). Kalau peserta didik
(Abdullah) memperoleh dari 20 soal tersebut skor realnya 86, maka nilai akhir
peserta didik tersebut adalah:
86 x 10 = 8.6 (dalam skala 10)
100
2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang
dilaksanakan setelah sekumpulan progrm pelajaran selesai diberikan. Dengan kata
lain evaluasi yang dilaksanakan setelah seluruh unit pelajaran selesai
diajarkan. Adapun tujuan utama dari evaluasi sumatif ini adalah untuk
menentukan nilai yang melambangkan keberhasilan peserta didik setelah mereka
menempuh program pengajaran dalam jangka waktu tertentu. (Sudijono, 2007: 23)
Seperti halnya evaluasi formatif yang dikatakan Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi
dalam bukunya “Pengelolaan Pengajaran”, (Rohani dan Ahmadi, 1991: 176-179),
untuk membahas evaluasi sumatif ini, perlu meninjau dari berbagai segi sehingga
akan mudah memahami bagaimana sebenarnya evaluasi ini. di antaranya adalah
sebagai berikut:
a. Fungsi Evaluasi Sumatif
Fungsi evaluasi sumatif ini adalah untuk
menentukan angka kemajuan atau hasil belajar peserta didik.
b. Manfaat Evaluasi Sumatif
Berikut ini merupakan beberapa manfaat
yang didapat dari evaluasi sumatif:
1) Untuk menentukan nilai
2) Untuk menentukan seseorang anak dapat
atau tidak mengikuti kelompok dalam menerima program berikutnya
3) Untuk mengisi catatan kemampuan siswa
(Arikunto, 1996: 36)
c. Waktu Pelaksanaan
Sesuai dengan fungsi evaluasi, maka
evaluasi sumatif ini dilakukan untuk menilai hasil belajar jangka panjang dari
suatu proses belajar mengajar seperti pada akhir program pengajaran.
d. Aspek Tingkah Laku Yang Dinilai
Karena evaluasi sumatif merupakan untuk
menilai hasil jangka panjang, maka aspek tingkah laku yang dinilai harus
meliputi segi kognitif (pengetahuan), psikomotor (ketrampilan) dan afektif
(sikap dan nilai).
e. Cara Menyusun Soal
Penilaian sumatif ini merupakan evaluasi
yang dilakukan pada akhir program pengajaran. Ini berarti bahan pengajaran yang
menjadi sasaran penilaian cukup luas dan banyak. Oleh karena itu, tidak efisien
jika soal-soalnya disusun atas dasar tujuan khusus pengajaran (TKP) seperti
pada evaluasi formatif. Akan tetapi penyusunan soal-soalnya harus didasarkan
pada tujuan umum pengajaran (TUP) yang ada di dalam program pengajaran
tersebut.
Selanjutnya, karena tujuan evaluasi
sumatif itu untuk menentukan angka kemajuan setiap peserta didik yang di
antaranya untuk menentukan kenaikan kelas atau lulus tidaknya, maka masalah
tingkat kesukaran soal harus diperhatikan. Artinya, soal-soal itu harus disusun
sedemikian rupa sehingga mencakup yang mudah, sedang dan sukar yang jumlahnya
perbandingannya sekitar 3 : 5 : 2, perbandingan ini tidak harus mutlak
demikian. Masalah tingkat kesukaran soal ini dimaksudkan agar hasil penilaian
dapat memberi gambaran mengenai tingkat kecerdasan atau kemampuan atau
kepandaian tiap-tiap peserta didik atas dasar klasifikasi kurang, sedang dan pandai.
Di samping masalah tingkat kesukaran
soal, pada evaluasi sumatif ini diperhatikan daya pembeda dari setiap soal.
Artinya setiap soal harus mempunyai daya untuk membedakan peserta didik yang
pandai dengan yang kurang atau tidak pandai. Tapi tingkat kesukaran dan daya
pembeda suatu soal itu hanya dapat diketahui melalui analisis soal setelah tes
itu dicobakan. Untuk itu perlu diperhatikan pengetahuan lebih lanjut mengenai
teknik penilaian pendidikan yang menyangkut masalah “analisis soal”.
f. Pendekatan Evaluasi Yang Digunakan
Pada
evaluasi sumatif, ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam menilai: 1)
penilaian yang bersumber pada kriteria mutlak dan 2) penilaian yang bersumber
pada norma relatif (kelompok)
g. Cara Pengolahan Hasil Evaluasi
Karena pada evaluasi sumatif ini ada dua
pendekatan dalam mengevaluasi, maka pengolahan hasilnya pun ada dua cara:
1) Pengolahan hasil evaluasi berdasarkan
ukuran mutlak. Jika pengolahan hasil evaluasi itu berdasarkan ukuran atau
kriteria mutlak, maka yang harus dicari adalah presentase jawaban benar yang
dicapai oleh setiap peserta didik.
2) Pengolahan hasil evaluasi berdasarkan
norma relatif (kelompok). Untuk mengolah hasil evaluasi yang berdasarkan norma
relatif, digunakan nilai-nilai yang standar seperti skala nilai 0 – 10 atau
skala nilai 0 – 100. Untuk merubah nilai atau skor mentah ke dalam skor
terjabar berdasarkan skala penilaian tertentu, maka prosedur atau
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menyusun distribusi atau frekwensi
skor yang diperoleh peserta didik
b) Menghitung angka rata-rata
c) Menghitung standar devisi
d) Mengubah skor ke dalam skala
penilaian yang dikehendaki
h. Penggunaan Hasil Evaluasi
Pada evaluasi sumatif, hasilnya
digunakan antara lain sebagai berikut:
a) Menentukan kenaikan kelas
b) Menentukan angka raport
c) Mengadakan seleksi
d) Menentukan lulus tidaknya peserta
didik
e) Mengetahui status setiap peserta
didik dibandingkan dengan peserta didik lainnya dalam kelompok yang sama
i. Contoh Evaluasi Sumatif
Berikut ini akan disajikan bentuk-bentuk
contoh evaluasi sumatif dengan berbagai pengolahan: (Rohani dan Ahmadi, 1991:
192-194)
1) Pengolahan berdasarkan “ukuran
mutlak”
Pengolahan skor mentah (raw score)
dengan ukuran mutlak dalam standar atau skala 10 dengan mempergunakan ketentuan
rumus
s.a = s.r x 10
s.i
s.a: skor akhir
s.r: skor real
s.i: skor ideal
10: skor 1-10
Contoh:
Di dalam evaluasi sumatif dari suatu
bidang pengajaran dibuat soal-soal sebagai berikut:
a) Tes bentuk B – S : 30 soal, skor 1
untuk setiap soal yang benar
b) Tes bentuk pilihan jamak : 50 soal, n
= 3 skor 1 per soal yang benar
c) Tes bentuk uraian : 4 soal, skor 5
untuk setiap soal yang benar dan memakai bobot 2 soal mudah berbobot 1
masing-masingnya.
– 1 soal sedang berbobot 2
– 1 soal sukar berbobot 3
Skor tertinggi yang mungkin dicapai
peserta (disebut juga skor ideal) dari tes tersebut adalah sebagai berikut:
a) Tes benar – salah : 30 x 1 = 30
b) Tes pilihan jamak : 50 x 2 = 100
c) Tes bentuk uraian : 2 mudah : 2 x 5 x
1 = 10
1 sedang : 1 x 5 x 2 = 10
1 sukar : 1 x5 x 3 = 15
Jumlah skor ideal = 165
Di antara peserta didik suatu kelas
yaitu kelas A, B dab C berhasil mengerjakan soal-soal tes sebagai berikut:
nama Benar-salah Pilihan jamak Bentuk
uraian
dibuat benar Dibuat benar Skor no 1 2 3
4
A 30 21 49 31 5 5 3 2
B 25 21 40 31 5 5 3 2
C 25 25 35 30 5 4 5 4
Skor mentah (raw score) mereka
masing-masing, bila dengan “rumus tebakan” (untuk B-S dan pilihan jamak) adalah
sebagai berikut:
Si A = (21 – 9) x 1 + (31 – 18 ) x 2 +
(10 x 1) + (3 x 2) + (2 x 3) = 78
3 – 1
Si B = (21 – 4) x 1 + (31 – 9 ) x 2 +
(10 x 1) + (3 x 2) + (3 x 3) = 95
3 – 1
Si C = (25 – 0) x 1 + (30 – 5 ) x 2 + (9
x 1) + (5 x 2) + (5 x 3) = 111
3 – 1
Skor akhir A = 78 x 10 = 4,72 (atau 5)
165
Skor akhir B = 95 x 10 = 5,75 (atau 6)
165
Skor akhir C = 111 x 10 = 6,72 (atau 7)
165
2) Pengolahan berdasarkan “ukuran
relatif (kelompok)”
Pengolahan yang berdasarkan ukuran
relatif ini ditujukan untuk menilai / mengukur prestasi seseorang dibandingkan
dengan nilai prestasi rata-rata dari kelompoknya. Dengan kata lain, pengolahan
yang berdasarkan ukuran relatif menentukan kedudukan peserta didik
masing-masing di dalam kelasnya. Karena pengukuran “prestasi seseorang” dalam
pengolahan berdasarkan ukuran relatif ini dibandingkan dengan hasil rata-rata
kelompok dalam bilangan, maka kita pergunakan teknik-teknik statistik yang
sederhana yaitu teknik menyusun distribusi frekuensi.
Teknik Menyusun Distribusi Frekuensi
Distribusi: penyebaran
Frekuensi: berapa kali datang yang
sejenis pada suatu saat tertentu, atau berapa banyaknya yang sejenis pada suatu
kelompok atau berapa kali suatu kelompok muncul dalam kelompok angka atau skor
tertentu.
(1) Data yang mempunyai frekuensi sama
Hasil tes 8 orang peserta didik adalah
sebagai berikut:
Pada data sebelah kiri ini kita lihat,
bahwa setiap angka hanya diperoleh seorang peserta didik. Frekuensi setiap
angka sama yaitu satu.
(2) teknik menyusun distribusi frekuensi
tidak sama
pada suatu tes, 10 orang peserta didik
memperoleh skor sebagai berikut:
dari data hasil tes seperti contoh di
samping, ternyata:
yang memperoleh angka 75 = 1 orang
yang memperoleh angka 65 = 2 orang
yang memperoleh angka 60 = 4 orang
yang memperoleh angka 56 = 2 orang
yang memperoleh angka 55 = 1 orang
Perbedaan Evaluasi Formatif Dan Sumatif
Seperti yang dikatakan Rusman mengutip
pendapatnya Scriven, dia (Scriven) telah membuat perbedaan antara evaluasi
sumatif dan formatif. Dalam evaluasi sumatif, evaluasi berfungsi untuk
menetapkan keseluruhan penilaian program. Termasuk menilai keseluruhan manfaat
program tertentu dalam hubungannya dengan kontribusi terhadap kurikulum sekolah
secara total. Dalam evaluasi formatif meliputi pembuatan penilaian dan usaha
untuk menentukan sebab-sebab khusus. Informasi yang diperoleh dalam evaluasi
formatif memberi kontribusi terhadap revisi program. Ini memungkinkan
pengembang kurikulum untuk mengubah dan mengembangkan kurikulum sebelum
menetapkan bentuk final.
PENUTUP
KESIMPULAN
Desain pembelajaran merupakan
rancangan atas proses pembelajaran berdasarkan kebutuhan dan tujuan belajar
serta sistem penyampaiannya sehingga menjadi acuan dalam pelaksanaannya untuk
menciptakan pembelajaran yang efektif. Dengan tujuan menciptakan pembelajaran
yang efektif dan efisien dengan meminimalisir kesukaran siswa dalam memahami
pembelajaran. Untuk menciptakan pembelajaran yang efektif penyusunan strategi
instruksional haruslah didasarkan atas tujuan instruksional yang akan dicapai
sebagai kriteria utama. Di samping itu, penyusunan tersebut didasarkan pula
atas pertimbangan lain, yaitu hambatan yang mungkin di hadapi pengembang
instruksional atau pengajar seperti waktu, biaya, dan fasilitas.
Daftar Pustaka
3.
Ihwanardani. 2013. Pengembangan Starategi Intruksional. Diakses
pada 11/04/2017 http://ihwanardani.blogspot.com/2013/01/pengembangan-strategi-instruksional.html
0 komentar:
Post a Comment