Pendidikan Kaum Tertindas


PENDIDIKAN KAUM TERINDAS


BAB I
Pembenaran
          Masalah humanisasi secara Axiologis dipandang sebagai masalah utama manusia maka ini adalah suatu keprihatinan yang tidak dapat terhindarkan. Keprihatinan ini  akan membawa kita pada pengakuan akan adanya dehumanisasi. Namun sepanjang humanisasi maupun dehumanisasi itu adalah pilihan pilihan yang nyata.
          Dehumanisasi menandai mereka yang kemanusiaanya telah dirampas , namun mereka yang telah merampasnya adalah sebuah penyimpangan terhadap fitrah untuk menjadi manusia sejati inilah hasil dari suatu tatanan yang tidak adil akan melahirkan kekejaman pada kaum penindas, yang kemudian melahirkan dehumanisasi terhadap kaum tertindas. Oleh sebab itu hal tersebut adalah suatu penyimpangan dari usaha untuk menjadi lebih manusiawi, maka cepat atau lambat keadaan ini akan mendorong kaum tertindas untuk berjuang melawan mereka yang telah menindasnya.
          Agar perjuangan kaum tertindas bermakna , maka dalam merebut kembali kemanusiaannya , kaum tertindas tidak boleh berbalik menindas para penindasnya namun memulihkan kembali kemanusiaan keduanya.
          Suatu tatanan social yang tidak adil seperti itu merupakan sebuah alasan akan adanya “Kemurahan Hati” yang dihidupi oleh bayangan maut,Keputusasaan, dan kemiskinan.hal inilah yang menyebabkan terjadinya kaum pemurah hati itu menjadi mata gelap terhadap ancaman paling kecil atas kemurahan hati palsu mereka.
          Kemurahan hait yang sejati justru terdapat dalam usaha usaha menghancurkan sumber sumber penyebab yang telah menghidupi kedermawanan palsu itu.Meeskipun demikian pelajaran dan praktek ini harus datang dari kaum tertindas itu sendiri atau dari mereka yang sungguh sungguh berpihak pada mereka.Siapakah yang lebih siap disbanding kaum tertindas untuk memahami makna mengerikan yang terjadi pada masyarakat yang menindas? Jawabanya tidak dapat dirumuskan secara kebetulan. Namun harus melewati praksis, dalam memperjuangkan hal tersebut, Melalui pengenalan akan arti penting dari memperjuangkan hal tersebut.
          Tetapi hampir selamanya, sejak tahap awal dari perjuangan ini, kaum tertindas bukanya mengusahakan pembebasan, tetapi cenderung menjadikan dirinya penindas , atau “Penindas kecil”. Dalam keadaan seperti ini kaum tertindas tidak dapat melihat “Manusia Baru” Karena Manusia tersebut harus dilahirkan dari pemecahan kontradiksi dalam suatu proses memudarnya penindasan untuk membuka jalan kearah pembebasan.Bahkan revolusi, yang mengubah suatu situasi penindasan dengan cara membangkitkan proses pembebasan, harus langsung menghadapi gejala ini.
          Hubungan antara kaum penindas dengan kaum tertindas adalah adanya pemolaan. Pemolaan merupakan pemaksaan pilihan terhadap orang lain, mengubah kesadaran orang yang dipola agar cocok dengan kesadaran orang yang memilih pola itu.
          Kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka, mengalami rasa takut untuk menjadi bebas. Pdahal Kebebasan yang hakiki adalah kebebasan yang bertanggung jawab bukanya bebas dengan cara yang menindas. Kebebasan bukanlah sebuah impian yang berada di luar diri manusia , juga bukan sebuah gagasan yang kemudian menjadi mitos, namun merupakan Keniscayaan dalam rangka mencapai kesempurnaan manusiawi.
          Untuk Mengatasi situasi Penindasan adalah sebagai berikut :
1. Manusia harus mengenali secara kritis sumber penyebab terjadinya situasi penindasan ini.
2. Melakukan tindakan perubahan dimana mereka dapat menciptakan situasi yang baru (Situasi yang memungkinkan terciptanya manusia yang lebih utuh.)
          Meskipun demikian kaum tertindas yang telah menyesuaikan diri dalam struktur penindasan dimana mereka tenggelam dan pasrah terhadapnya, tidak perlu mencoba memperjuangkan kebebasan selama mereka tidak mampu menanggung resiko yang dihadapinya. Keinginan untuk bebas, mereka anggap bahawa keinginan itu dapat diwujudkan hanya jika keinginan yang sama juga tumbuh dalam diri kawan kawan senasib.Namun selama masih dikuasai oleh rasa takut kebebasan maka mereka akan menolak mengutarakanya, ataupun menolak mendengarkan pernyataan tentang itu dari orang lain atau bahkan dari bisikan hatinya sendiri.
          Kaum tertindas mengidap sikap mendua yang tumbuh dalam diri mereka yang paling dalam.Maksud mendua ini adalah pertentangan dalam memilih antara menjadi diri sendiri secara utuh ( tetap menjadi kaum tertindas) atau menjadi diri yang terbelah antara melawan kaum penindas atau tidak melawan, antara solidaritas insani atau keterasingan, antara mentaati pola pola atau mempunyai pilihan pilihan, antara menjadi penonton atau menjadi pelaku, antara bertindak atau cukup dengan berkhayal bertindak melalui kaum penindas, antara bersuara atau berdiam diri,terkebiri dari kemampuan berkreasi dan berekreasi, kemampuan untuk mengubah dunia. Ionilah dilemma menyedihkan dari kaum tertindas yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mereka.
          “Pendidikan Kaum Tertindas”  ialah suatu bentuk pendidikan yang harus diolah bersama, bukan untuk , kaum tertindas ( dalam perorangan maupun sebagai anggota masyarakat secara keseluruhan ) dalam perjuangan tanpa henti untuk merebut kembali kemanusiaan mereka.
          Pendidikan Kaum tertindas adalah sebuah perangkat agar mereka mengetahui secara kritis bahwa baik diri mereka sendiri maupun kaum penindasnya adalah pengejawantahan dari dehumanisasi.
          Pemecahan masalah kontradiksi ini dicapai melalui rasa sakit beranak yang mengantarkan manusia baru tadi ke dunia bukan untuk menjadi penindas atau kaum tertindas melainkan menjadi manusia dalam proses mencapai kebebasan yang hakiki.Kaum tertindas dapat melakukan perjuangan untuk mencapai kebebasanya dengan memahami realitas penindasan , tidak sebagai suatu dunia yang tertutup dimana tidak ada pintu keluar,tetapi sebagai situasi terbatas yang dapat mereka ubah. Tidak berarti pengetahuan kaum tertindas bahwa mereka hidup dalam hubungan dialektis sebagai antitesa bagi sipenindasyang tidak dapat hidup tanpa mereka
          Kaum tertindas dapat mengatasi kontradiksi di mana mereka terjebak hanya jika pengetahuan itu mendorong mereka berjuang membebaskan diri. Sama halnya dengan si penindas sebagai seorang pribadi .menyadari dirinya sebagai seorang penindas akan menimbulkan rasa bersalah yang mendalam,tetapi itu tidak dengan sendirinya menjadikanya memiliki solidaritas terhadap kaum tertindas. Melainkan bersikap paternalistic terhadap kaum tertindas , sambil terus mengikat mereka dalam posisi ketergantungan. Bukanya solidaritas menghendaki seseorang masuk kedalam situasi mereka yang sedang ia bela, inilah sikap radikal.
          Ciri kaum tertindas adalah suboridnasi mereka terhadap alam pikiran kaum penindas , maka solidaritas yang sejati terhadap kaum trtindas berarti berjuamg di pihak mereka untuk mengubah realitas obyektif yang telan menjadikan mereka “Mengada Bagi orang lain” Solidaritas sejati hanya ditemukan dalam perbuatan penuh kasih saying ini, dalam eksistensialitasnya, dalam praksisnya. Mengakui bahwa manusia manusia yang membentuk masyarakat seharusnya memiliki kebebasan hanya lelucon belaka jika tidak diiringi dengan perbuatan nyata untuk mewujudkanya.
          Karena kontradiksi penindas penindas memang terjadi secara kongkrit, maka penyelesaian kontradiksi ini haruslah dapat diuji kebenaranya secara obyektif.Orang tidak dapat memahami obyektivitas tanpa subyektivitas. Pemisahan antara obyektivitas dari subyektivitas, yakni menolak subyektivitas dalam menganalisa atau dalam bertindak mengatasi realitas disebut dengan Obyektivisme.Sedangkan penolakan terhadap obyektivitas dalam analisa atau tindakan , melahirkan subyektivismeyang mengarah pada sikap solipsistic, yakni sikap menolak tindakan itu sendiri atas dasar penolakanterhadap realitas obyektif.
          Menolak pentingnya peran Subyektivitas dalam proses mengubah dunia dan sejarah adalah naïf dan menyederhanakan persoalan.Justru karena realitas social yang Obyektif mengada bukan karena kebetulan tetapi sebagai hasil tindakan manusia, maka ia tidak dapat diubah dengan cara kebetulan pula.
          Realitas yang menindas mengakibatkan adanya kontradiksi dalam manusia sebagai penindas dan tertindas.Kaum tertindas yakni k\mereka yang mengemban tugas untuk berjuang mencapai kebebasan bersama dengan mereka yang memiliki solidaritas sejati, harus memiliki kesdaran kritis terhadap penindasan dalam seluruh praksisi perjuangan ini.
          Dalam keterkaitan hubungan dialetiks antara subyektif dengan sikap obyektif inilah maka msuatu praksis murni dapat terwujud, yang tanpanya mustahil memecahkan kontradiksi antara kaum penindas dengan kaum tertindas.Untuk mencapai tujuan ini maka kaum tertindas harus menghadapi realitas secara kritis , secara bersamaan mengenali realitas dan bertindak terhadapnya. Suatu kesadaran akan realitas semata-mata tanpa perlibatan kritis di dalamnya tidak akan mengarah kepada realitas yang Obyektif.dengan kata lain kesadaran ini adalah kesadaran yang palsu.
          Bentuk lain dari kesadaran palsu terjadi disaat sebuah perubahan realitas obyektifdianggap akan mengancam kepentingan kepentingan perorangan atau golongan. Pada tingkat :
1.      Jelas bukan keterlibatan kritis dalam realitas
2.      Keterlibatan pengamat yang bertentangan dengan kepentingan kepentingan golonganya sendiri.
3.      Pengamat cenderung berperilaku “Neurotik”
          Dalam pemikiran dialektis, dunia dan tindakan adalah 2 hal yang saling berkait antara satu sama lain. Tetapi tindakan hanya manusiawi jika ia bukan semata mata sebuah pekerjaan rutin tetapi juga merupakan suatu perenungan yang mendalam , yakni bila ia tidak dibedakan secara dikotomis dari refleksi.
          Pendidikan kaum tertindas, yakni pendidikan bagi manusia yang terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka , berakar disini. Kaum tertindas harus menjadi contoh soal bagi dirinya sendiri dalam perjuangan bagi pembebasan mereka.
          Pendidikan kaum tertindas ini , yang dijiwai oleh kedermawanan sejati, kemurahan hati humanis menampilkan diri sebagai sebuah pendidikan bagi seluruh umat manusia. Pendidikan kaum tertindas tidak dapat dikembangkan dan dilaksanakan oleh kaum penindas.Akan merupakan suatu kontradiksi jika kaum penindas tidak hanya membela tetapi juga melksanakan pendidikan yang membebaskan.
          Tetapi jika penerapan bentuk pendidikan membebaskan itu menuntut adanya kakuasaan politik yang justeru tidak dimiliki oleh kaum tertindas , maka bagaimana mungkin mewujudkanya tanpa revolusi sebelumnya?
          Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap yaitu tahap :
1.      Kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan.
2.      Dimana realitas penindasan sudah berubah pendidikan tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng.
Hanya kaum tertindaslah yang , dengan membebaskan diri sendiri , dapat membebaskan kaum penindasnya. 
          Pemecahan masalah kontradiksi penindas dan tertindas sebenarnya mencakup hilangnya kaum penindas sebgai kelas penguasa.Kontradiksi ini dapat diselesaikan dengan situasi baru yang dibangun oleh para buruh yang telah bebas, para bekas penindas tidak merasa terbebas.
          Kaum penindas tidak menyadari monopoli mereka untuk memiliki lebih banyak sebagai suatu hak istimewa justru menjadikan orang lain dan diri mereka sendiri tidak manusiawi. Tidak ada kemungkinan lain jika humanisasi kaum tertindas dianggap sebagai sub versi, maka demikian pula kebebasan mereka.
          Terbenam dalam realitas kaum tertindas tidak dapat memahami secara jelas “tatanan” yang melayani kepentingan kepentinga kaum penindas yang citra dirinya telah mereka internalisasi.Hal ini memang mungkin , bahwa perbuatan itu mereka sedang menyatakan watak mendua mereka. Karena kaum penindas berada diantara kawan – kawan tertindas mereka. Di pihak lain, pada segi tertentu dalam pengalaman eksistensial mereka kaumtertindas merasa terpesona yang tak tertahankan terhadap diri si penindas dan gaya hidupnya.
          Tidak menghargai diri adalah salah satu sifat dari kum tertindas, yang berasal dari internalisasi pendapat para penindas tentang diri mereka. Hampir tidak pernah mereka menyadari bahwa mereka sebenarnya juga mengetahui sesuatu yang mereka pelajari dalam pergaulan mereka dengan dunia orang lain.
          Selama sikap mendua mereka bertahan, kaum tertindas segan untuk melakukan perlawanan, dan benar benar kakurangan kepercayaan kepada diri sendiri.Kaum tertindas Harus membuktikan kekebalan kaum penindas sehingga keyakinan sebaliknya dapat tumbuh dalam diri mereka.dalam pandangan mereka yang tidak sehat terhadap dunia dan diri mereka sendiri kaum tertindas merasa dirinya sebagai benda yang dimilikmi oleh kaum penindas.
          Jika kaum tertindas menemukan kaum penindas mereka dan kemudian ikut terlibat dalm usaha terorganisasi bagi pembebasanya , maka mreka mulai dapat mempercayai diri sendiri.
          Dialog yang kritis dan membebaskan , yang diahului oleh tindakan , harus dilakukan dengan kaum tertindas pada setiap tahap perjuangan pembebasan mereka.
          Dalam seluruh tahap pembebasan mereka, kaum tertindas harus melihat diri mereka sendiri sebagai manusia yang berjuang atas dasar fitrah ontologis dan kesejarahan untuk menjadi manusia seutuhnya.
          Tuntutan agar kaum tertindas terlibat dalam pemikiran tentang situasi nyata mereka tidaklah berarti suatu ajakan bagi revolusi sambil duduk.Sebaliknya pemikiran sejati mengarah pada tindakan.Untuk mencapai praksisi ini, disyaratkan untuk memberi kepercayaan kepada kaum tertindas serta kemampuanya untuk bernalar.
          Tindakan politik yang berpihak pada kaum tertindas harus merupakan tin dakan yang mendidik dalam artian kata yang sesungguhnya, dank arena itu merupakan tindakan yang dilakukan bersama kaum tertindas.
          Tindakan pembebasan harus memahami ketergantungan itu sebagai suatu titik lemah dan mencoba lewat refleksi dan tindakan untuk mengubahnya menjadi ketidaktergantungan.
          Cara yang tepat bagi suatu kepemimpinan revolusioner dalam melakukan tugas pembebasan, karenanya, bukanlah propaganda pembebasan. Para pemimpin revolusioner harus memahami bahwa keyakinan mereka sendiri akan kebutuhan untuk berjuang tidak diberikan kepada mereka oleh siapapun juga jika keyakinan itu sejati. Demikian pula dengan kaum tertindas ( yang tidak melibatkan diri untuk berjuang kecuali mereka yang tel;ah berkeyakinan dan yang jika mereka tidak mau terlibat seperti itu, tidak memenuhi syarat wajib untuk perjuangan ini ) harus mencapai keyakinan itu sebagi subjek, bukan sebagai objek.
          Tujuan dari pembahasan masalh ini adalah untuk mempertahankan sifat mendidik yang utama dalam revolusi.
          Penting sekali bagi kaum tertindas untuk menyadari bahwa ketika mereka menerima perjuangan humanisasi, mereka juga saat itui menerima tnggung jawab perjuangan itu.Perjuangan ini dimulai dari kesadaran bahwa mereka selama ini telah dihancurkan.Oleh karena itu seoran pemimpin revolusi harus menerapkan pendidikan ko-intensional.



BAB II
Konsep “Gaya Bank 
          Suatu analisa yang cermat tentang hubungan antara guru dan murid pada semua tingkatan, di dalam maupun di luar sekolah, mengungkapkan watak bercerita (narrative)yang mendasar di dalamnya.Hubungan ini melibatkan guru sebagai subyek yang bercerita dan murid sebagai obyek yang mendengarkan cerita, namun isi pelajaran yang diceritakan baik yang menyangkut nilai- nilai maupun segi – segi empiris dari realitas, cenderung menjadi kaku dan tidak hidup.
          Guru memberikan realitas seolah olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain dan dapat di ramalkan, atau ia menguraikan suatu topic yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid.
          Ciri yang sangat menonjol dalam pendidikan cerita ini adalah “kemerduan kata katanya , bukan kekuatan pengubahnya”. Yang dimaksud dengan hal ini adalah murid murid mencatat, menghafal, dan mengulangi ungkapan – ungkapan ini tanpa memahami arti sesungguhnya.
          Pendidikan bercerita mengarahkan murid untuk menghafal secara mekanis tentang apa isi pelajaran yang diceritakan. Krenanya pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana murid adalah celengan dan guru adalah penabung. Sehingga hal ini bukanlah hal yang bisa disebut dengan komunikasi, melainkan guru menyampaikan pernyataan – pernyataan kepada muridnya kemudian oleh sang murid akan disimpan, dihafalkan, dan diulangi dengan patuh. Inilah konsep pendidikan gaya bank. Dimana ruang gerak yang disediakan untuk murid hanya sebatas menerima, mencatat,dan menyimpan. Padahal, Pengetahuan hanya lahir melalui usaha penemuan dan penemuan ulang, melalui pencarian manusia yang gelisah , tidak sabar ,terus menerus, dan penuh harapan di dunia bersama orang lain.
          Dalam konsep pendidikan Gaya Bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada merka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan. Sesungguhny ini adalah ciri – ciri dari ideology penindasan karena telah menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain. Dan hal ini telah mengingkari hakikat pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian.
          Raison d’etre mengemukakan bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang berusaha mengubah ke arah rekonsiliasi (perubahan). Pendidikan ini harus dimulai dengan memecahkan masalah kontradiksi guru – murid, dengan merujuk pada kutub kutub kontradiksi itu, sehingga keduanya secara bersama sama adalah guru dan murid.
          Pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam kondisi itu melalui cara cara dan kebiasaan kebiasaan sebagai berikut , yang mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertindas secara keseluruhan yaitu :
1.      Guru Mengajar, Murid Diajar
2.      Guru Mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa – apa
3.      Guru Berfikir , Murid difikirkan,
4.      Guru Bercerita , Murid Patuh mendengarkan.
5.      Guru menentukan peraturan, murid diatur
6.      Guru memilih dam memaksakan pilihanya, murid menyetujui.
7.      Guru berbuat, Murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatanya.
8.      Guru memilah bahan danisi pelajaran, murid ( tanpa diminta pendapatnya ) Menyesuaikan diri dengan pelajaran itu
9.      Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatan , yang ia lakukan untukn menghalangi kebebasan murid.
10.  Guru adalah subyek dal;am proses belajar dan murid adalah obyek belaka.
          Tidaklah Mengherankan Jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda atau gampang diatur.jikalau murid mudah untuk diatur ( seperti pendidikan gaya bank ) maka mereka tidak bisa kritis , dengan kata lain mereka tidak dapat mengembangkan rasa kesadaran kritisnya yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan dunia sebagai pengubah dunia tersebut.
          Kaum Penindas memanfaatkan “humanitarisme” mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi diri mereka sendiri.Sesungguhnya, kepentingan kaum penindas adalah “mengubah kesadaran kaum tertindas, bukan situasi yang menindas mereka”.
          Pendekatan gaya bank dalam pendidikanorang dewasa, misalnya , tidak akan pernah menyarankan kepada peserta didiknya agar mereka melihat realitas secara kritis.
          Mereka yang menggunakan pendekatan , gaya bank ini  secara sdar atau tidak sadar, tidak memahami bahwa pengetahuan yang mereka tanamkan itu berisi kontradiksi dengan realitas. Tetapi bagi seorang humanis, bagi seorang pendidik revolusioner tidak dapat menanti begitu saja kemungkinan bitu terwujudkan.
          Konsep pendidikan gaya bank tidak akan memungkinkan hubungan kesetiakawananseperti itu dan memang harus demikian.termasuk dalam konsep pendidikan gaya bank, anggapan akan adanya dikotomi antara manusia dengan dunia , manusia semata mata ada di dalam dunia, bukan bersama dunia atau orang lain manusia adalah penonton bukan pencipta
            Pendidikan gaya Bank dalam pendidikan orang dewasa tidak pernah menyarankan kepada peserta didiknya agar mereka terlihat realitas secara kritis.”Humanisme” dari pendekatan gaya bank menutupi suatu usaha untuk menjadikan manusia sebagai benda terkendali,suatu penolakan terhadap fitrah ontologis untuk menjadi manusia seutuhnya.Mereka yang menggunakan pendekatan gaya bank secara sadar atau tidak,mereka tidak memahami bahwa pengetahuan yang mereka tanamkan berisi kontradiksi dengan realitas.Tapi cepat atau lambat kontradiksi tersebut akhirnya akan mengarahkan murid yang semula pasif berbalik menentang dan berusaha menjinakkan realitas.
            Tetapi bagi seorang humanis ,bagi pendidik yang revolusioner tidak dapat menanti begitu saja kemungkinan terwujud.Sejak awal usaha-usaha yang dijalankan harus berlangsung di tengah muridnya agar mereka terlibat dalam pemikiran kritis serta usaha ke arah humanisasi.
            Konsep gaya bank tidak akan memungkinkan hubungan kesetiakawanan.Termasuk dalam konsep gaya bank adalah adanya dikotomi antara manusia dengan dunia.Dari pemahaman gaya bank ini berakibat bahwa peran pendidik adalah mengatur cara dunia “masuk ke dalam” diri para murid (memasukkan informasi yang dianggap pengetahuan sebenarnya,dan membuat murid lebih pasif lagi).Mereka menganggap manusia yang terdidik adalah manusia yang telah disesuaikan.
            Hanya melalui komunikasi manusia dapat menemukan hidup yang bermakna.Berpikir murni dapat ditemui dalam komunikasi.Karena gaya bank bertolak dari pengertian yang keliru tentang manusia sebagai obyek,maka ia tak mampu mengembangkan biofili namun malah mengembangkan nekrofili.Nekrofili menyukai segala hal yang tidak tumbuh (mekanis),Nekrofili merupakan penindasan kekuasaan yang berlebihan,menjadikan murid sebagai obyek yang harus menerima.Ketika usaha untuk bertanggung jawab dikecewakan,maka ketika itulah manusia menderita.Penderitaan ini berasal dari keseimbangan (equilibrium) yang ada dalam diri manusia terganggu.Hal tersebut membuat kaum tertindas menolak ketidak berdayaanya dengan cara berusaha mempersamakan diri dengan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan.Dengan cara itulah mereka merasa bahwa mereka telah bertindak secara aktif dan efektif.Kaum elit yang berkuasa mengatasi hal tersebut dengan cara penguasaan serta tekanan yang lebih besar,yang dilakukan atas nama kebebasan.Pendidikan sebagai bentuk pengekangan mendorong lahirnya sikap membeo dikalangan murid,yang mendoktrinasi agar mereka menyesuaikan diri dengan penindasan.
            Dengan adanya konsep gaya bank ada upaya pembebasan dari manusia,Pembebasan adalah sebuah tindakan dan refleksi manusia atas dunia untuk dapat mengubahnya.Bagi yang benar-benar mengabdi harus menolaknya  dan mengganti dengan konsep tentang manusia sebagai makhluk yang sadar.Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman bukanya pengalihan informasi.
            Konsep pendidikan gaya bank membedakan dua tahap kegiatan pendidik.Yang pertama pendidik mengamati sebuah obyek yang dapat diamati,yang kedua ia menceritakan kepada muridnya tentang obyek tersebut.Murid tidak dituntut untuk mengerti atau mempraktekanya tapi dituntut untuk menghafal.
            Para pendidik hadap masalah adalah menciptakan bersama dengan murid,suasana dimana pengetahuan pada tahap mantera diganti dengan pengetahuan sejati,pada tahap ilmu.Sementara pendidikan gaya bank membius dan mematikan daya kreatif,berusaha mempertahankan penenggelaman kesadaran,berjuang bagi kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas.
            Pendidikan sebagai praktek kebebasan-berlawanan dengan pendidikan sebagai praktek dominasi-menolak anggapan bahwa manusia adalah sesuatu yang abstrak,terpencil,berdiri sendiri,dan tidak terikat pada dunia,menolak anggapan bahwa dunia mengada sebagai sebuah realitas yang terpisah dari manusia.dalam pendidikan hadap masalah,manusia mengembangkan kemampuan untuk memahami secara kritis cara mereka mengada dalam dunia dalam mana mereka menemukan dirinya sendiri.Mereka akan memandang dunia bukan sebagai realitas yang statis,namun realitas yang berada dalam proses,dalam gerakan perubahan.Kedua konsep dan praktek pendidikan dalam analisa ini terlihat saling bertentangan.Konsep gaya bank berusaha dengan cara memitoskan realitas,menyembunyikan fakta tetentu yang menjelaskan cara manusia berada di dunia,sementara pendidikan hadap masalah memilih sendiri tugas untuk menghapuskan mitos tersebut.Teori dan praktek pendidikan gaya bank tidak mampu menampilkan manusia sebagai makhluk menyejarah,teori dan praktek pendidikan hadap masalah menjadikan kesejarahan manusia sebagai pangkal tolaknya.Pendidikan gaya bank menekankan hal yang reaksioner,sedangkan pendidikan hadap masalah menekankan pada revolusioner.Pendidikan gaya bank secara langsung maupun tidak telah menumbuhkan pandangan manusia yang fatalistik.

Bab III
            Sebuah kata yang tidak otentik,yang tidak mampu mengubah realitas terjelma manakala dikotomi diterapkan terhadap unsur-unsur pembentuknya.Bila sebuah kata dihilangkan dimensi tindakanya,dengan sendirinya refleksi dirugikan pula dan kata itu berubah menjadi omong kosong,verbalisme dan sebuah bualan yang asing.Jika tindakan ditekankan secara berlebihan,dengan merugikan refleksi,kata itu berubah menjadi aktivisme.Keberadaan manusia tidak mungkin tanpa kata,juga tidak berlangsung dalam kata-kata palsu tetapi dalam kata-kata yang benar dengan apa manusia mengubah dunia.Dialog adalah bentuk perjumpaan diantara sesama manusia,dengan perantaraan dunia,dalam rangka menamai dunia.Dialog tidak akan terjadi antara orang yang hendak menamai dunia dengan orang yang memang tidak membutuhkan penanaman itu.Mereka yang telah ditolak hak primordialnya untuk mengatakan kata-kata sendiri harus terlebih dahulu merebut hak itu kembali dan mencegah terus berlangsungnya perbuatan dehumanisasi itu.Karena dialog merupakan perjumpaan  diantara orang-orang yang menamai dunia,maka tidak boleh menjadi suatu keadaan dimana sejumlah orang menamai dunia dengan mengatas namakan orang lain.Dialog adalah suatu laku penciptaan,ia tidak boleh menjadi sebuah alat dominasi seseorang terhadap orang lain.Dialog haruslah dominasi terhadap dunia oleh mereka yang mengikuti dialog,yakni penguasaan atas dunia bagi pembebasan manusia.Dialog tidak bisa berlangsung tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesama manusia.Dominasi menandakan adanya penyakit pada cinta sadisme,pada pihak penguasa serta masokisme pada pihak yang dikuasai.Cinta adalah pemihakan pada orang lain.Cinta harus melahirkan tindakan-tindakan pembebasan berikutnya.Dipihak lain Dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati.
            Keyakinan terhadap diri manusia adalah sebuah prasyarat a priori bagi dialog “ manusia logis “ percaya pada orang lain bahkan sebelum bertatap muka denganya.”Manusia dialogis” bersifat kritis dan tahu bahwa walaupun dalam diri manusia terdapat kekuatan untuk mencipta dan mengubah,namun dalam sebuah situasi keterasingan yang nyata ia mungkin  saja salah dalam menggunakan  kemampuan itu.
            Mendasarkan dirinya atas cinta,kerendahan hati dan keyakinan maka dialog akan menjadi sebuah bentuk hubungan horisontal dimana sikap saling mempercayai antara para pelkaunya merupakan konsekuensi yang logis.
            Kepercayaan bergantung pada kenyataan dimana suatu pihak menunjukkan kepada pihak lain tujuanya yang murni dan kongkrit.Ini tidak akan terjadi jika kata-kata pihak pertama tidak sesuai dengan tindakanya.Selain itu,dialog juga tidak akan terjadi tanpa adanya harapan.Harapan berakar dari ketidaksempurnaan manusia,dimana mereka terus melakukan pencarian yang dapat dilakukan dalam kebersamaan dengan orang lain.Ketiadaan harapan adalah kebisuan.Akhirnya dialog sejati tidak akan terwujud kecuali dengan melibatkan pemikiran kritis Pemikiran kritis berlawanan dengan pemikiran naif.Hanya dialog kah yang dapat melahirkan pemikiran kritis.Tanpa dialog tidak akan ada komunikasi,dan tanpa komunikasi tidak akan ada pendidikan sejati.Bagi pendidik gaya bank yang anti dialog,pertanyaan tentang bahan isi pendidikan tersebut hanya dikaitkan dengan rencana tentang apa yang yang akan ia ceritakan kepada muridnya dan ia menjawab pertanyaanya sendiri dengan menyusun rencana sendiri.Bagai pendidik yang dialogis isi bahan pelajaran berupa “penyajian kembali” kepada murid tentang hal-hal yang ingin mereka ketahui lebih banyak,secara tersusun,sistematik,dan telah dikembangkan.
            Humanisme naif seringkali mengabaikan manusia yang konkrit,eksistensial keberadaan,kekinian,dan dalam kekinian waktu manusia yang senyatanya.Humanisme sejati terdapat dalam sikap yang membiarkan tumbuhnya kesadaran kemanusiaan kita yang utuh,sebagai suatu keadaan,dan suatu kewajiban,sebagai suatu situasi dan sebuah proyek.Banyak sekali rencana-rencana pendidikan dan politik mengalami kegagalan karena perencanaanya merancang berdasarkan pandangan pribadi mereka sendiri tentang realitas,yang tak pernah sekalipun memperhatikan aspek manusia dalam situasi tetentu kepada siapa seolah-olah program mereka ditujukan.Bagi pendidik humanisme sejati obyek tindakan adalah realitas yang harus di ubah oleh mereka bersama-sama dengan orang lain,bukan orang lain yang di ubah.Kaum penindas adalah mereka yang mengindoktrinasi orang lain dan menyesuaikan mereka dengan realitas yang tetap dan tidak boleh tersentuh.Untuk memperoleh dukungan rakyat bagi gerakan revolusi,para pemimpin revolusi sering terjatuh ke dalam perencanaan isi program gaya bank dari atas ke bawah.Mereka lupa bahwa tujuan utama mereka adalah berjuang bersama masyarakat dalam rangka merebut kembali  harkat kemanusiaan mereka yang telah dirampok,bukan untuk “menaklukan rakyat” agar berpihak pada mereka.Perkataan “menaklukan” tidak ada dalam kamus para pemimpin revolusi,tetapi dalam kamus kaum penindas.Peran kaum revolusioner adalah membebaskan,dan di bebaskan bersama dengan rakyat bukan menaklukan mereka.Dalam kegiatan politiknya kelompok elite yang berkuasa menggunakan konsep pendidikan gaya bank untuk menumbuhkan sikap pasif dalam diri kaum tertindas.Cara-cara ini bertentangan dengan jalanya aksi pembebasan sejati,dengan menjadikan slogan-slogan kaum penindas tersebut sebagai sebuah permasalahan,akan membantu kaum tertindas “ membuang “ slogan itu dari dalam diri mereka.Pada akhirnya,tugas kaum humanis pastilah bukan mengadu slogan mereka melawan slogan kaum penindas,dengan kaum tertindas ebagai ajang percobaan untuk “ menyerap” slogan kaum humanis kemudian mnyerap pula slogan kaum penindas.Tugas kaum humanis adalah berusaha membuat kamu tertindas sadar akan fakta bahwa sebagai makhluk yang bersikap mendua mereka tidak dapat menjadi manusia seutuhnya.Seseorang tidak dapat mengharapkan hasil yang positif dari sebuah tindakan politik atau pendidikan yang tidak menghargai pandangan dunia yang dianut oleh masyarakat.
Titik tolak penyusunan isi program pendidikan atau politik harus beranjak dari situasi kekinian,eksistensial,dan konkrit yang mencerminkan aspirasi rakyat.Tugas kita adalah melakukan dialog dengan mereka tentang pandangan kita dan pandangan mereka sendiri.Kita harus mampu menerangkan bahwa pandangan  dunia mereka,yang harus tercermin dalam berbagai bentuk  tindakan mereka,adalah cerminan situasi mereka di dunia.Tindakan politik dan pendidikan yang tidak menyadari secara kritis situasi tersebut akan menempuh risiko menjadi “usaha perbankan” atau khutbah di padang pasir.Sering kali terjadi,para pendidik dan politisi menyertakan sesuatu yang tidak dapat dimengerti karena bahasa mereka selaras dengan situasi konkrit dari manusia yang mereka ajak bicara.Karena itu,pembicaraan mereka hanya sekedar merupakan retorika yang asing dan mengasingkan.Bahasa maupun pikiran tidak dapat hidup tanpa adanya struktur keduanya berada.Agar dapat berkomunikasi dengan efektif,pendidik dan politisi harus memahami kondisi struktur dimana pemikiran dan bahasa rakyat itu tersusun secara dialekti.
Tema- tema generatif mengesahkan dialog pendidikan sebagai praktek kebebasan.Metode penelitian itu harus dialogis, meluangkan kesempatan untuk menemukan tema-tema generatif serta merangsang kesadaran rakyat dengan tema-tema bermakna. Sejalan dengan tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis,maka objek penelitian bukanlah manusia tetapi lebih pada bahasa pikiran manusia yang digunakan untuk menunujukkan realitas, tingkat pemahaman realitas, dan pandangan tentang dunia yang menjadi sumber dari semua tema-tema generatif . Tema generatif merupakan tema yang mengandung dan terkandung dalam situasi-situasi batas tugas- tugas yang terkandung di dalam batas- batas tindakan.
Konsep tema generatif bukanlah sebuah penemuan yang asal jadi dan juga bukan sebuah hipotesa yang harus dibuktikan. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang tidak hanya memperhatikan tindakan- tindakannya tetapi juga sebagai objek pemikirannya, kemampuan inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Karena binatang hanya melakukan tindakan sekedar eksistensi, binatang tidak mampu memberi tujuan bagi tindakannya.Binatang adalah makhluk yang tidak menyejarah.binatang tidak di tantang oleh konfigurasi yang mereka hadapi, mereka hanya dirangsang. Kehidupan mereka bukanlah kehidupan yang menantang resiko, karena mereka tidak sadar akan tantangan resiko.
Sebaliknya, manusia memiliki kesadaran akan tindakan di dunia dimana mereka barada. Manusia adalah makhluk yang menyejarah. Kehidupan manusia ialah kehidupan yang menantang resiko artinya setiap tindaka yang akan manusia lakukan mereka juga memikirkan resiko yang akan didapatkan, karena mereka sadar akan adanya resiko dalam hidup mereka.
Manusia dapat men-tiga dimensikan waktu yaitu waktu masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Suatu zaman senantiasa ditandai oleh kompleks gagasan-gagasan, konsep-konsep, harapan- harapan, keraguan- keraguan, nilai- nilai dan tantangan- tantangan dalam interaksi dialektis dengan lawan- lawan ke arah itu semua, kearah suatu penyelesaian. Perwujudan nyata dari berbagai gagasan, nilai, konsep, dan harapan tersebut, seperti juga dengan berbagai rintangan yang menghambat humanisasi sepenuhnya, membentuk tema-tema zaman itu.
Tema –tema kesejarahan tidak pernah terisolir, berdiri sendiri, terlepas –lepas,semua itu senantiasa berinteraksi secara dialektis dengan tema- tema lawannya.sejalan dengan semakin tajamnya antagonisme antar tema- tema yang merupakan ungkapan realitas, maka terdapat suatu kecenderungan pada tema- tema serta realitas itu sendiri untuk dimitoskan, yang membangun suasana irasional serta sekterianisme. Dalam situasi semacam itu, maka irasionalitas pencipta- mitos itu sendiri menjadi suatu tema yang mendasar.
Dalam tema generatif terdapat suatu sistem situasi batas, tugas yang terkandung di dalamnya menuntut tindakan batas. Situasi batas mencakup baik orang yang yang secara langsung atau tidak diuntungkan olenya, maupun orang- orang yang diragukan dan dikendalikan olehnya. Oleh karena itu, tindakan- tindakan pembebasan dalam suatu lingkup sejarah harus sesuai dengan tidak hanya anda.
Umumnya , kesadaran yang tertindas yang tidak memahami situasi-batas dalam totalitasnya hanya melihat gejalanya saja serta melempatkan kekuatan penahan yang merupakan ciri-ciri situasi batas. Mereka cenderung untuk bertahan pada pinggiran permasalahan serta menentang setiap usaha untuk mencapai inti permasalah. Kenyataan ini  mempunyai arti sangat penting bagi penelitian generatif. Jika mereka tidak memahami secara kritis realitas mereka,melihatnya dalam bagian-bagian yang tidak mereka pahami sebagai unsur-unsur pembentuk yang saling terkaitdari suatu keseluruhan. Mereka tidak dapat mengerti realitas dengan benar. Untuk mengrti dengan benar, mereka harus memballik titik tolaknya, mereka harus memiliki pandangan menyeluruh dari persoalannya, kemudian memisahkan dan melepaskan unsur- unsur pembentuknyadengan cara analisa untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas secara keseluruhan.
Sementara itu apabila manusia memahami relitas sebagai suatu yang ketat, tidak tertembus serta terselubung, maka penelitian harus dilakukan secara abstrak. Sesungguhnya tema terdapat dalam manusia dalam hubungannya dengan dunia pergaulan dengan fakta-fakta konkrit. Fakta objektif yang sama dapat menimbulkan kompleks- kompleks tema generatif yang berbeda pada setiap zaman. Oleh karena itu terdapat suatu hubungan antara fakta obyektif yang ada, pemahaman manusia terhadap fakta serta tema generatif.
Suatu tema bermakna lazimnya diungkapkan oleh manusia, dan ungkapan dari waktu tertentu akan berbeda dari waktu sebelumnya. Jika manusia telah menggubah atas pandangannya terhadap fakta obyektif yang berhubungan dengan tema. Kita harus menyadari bahwa aspirasi,motif dan tujuan yang terkandung dalam tema bermakna adalah aspirasi,motif, dan tujuan yang manusiawi.Peneliti yang atas nama obyektivitas ilmiah,mengubah sesuatu yang yang organis menjadi anorganias, apa yng sedang terjadi menjadi yang sudah jadi, kehidupan menjadi kematian adalah orang yang takut terhadap perubahan.
Manusia, sebagai makhluk “dalam situasi tertentu”, menemukan dirinya bahwa terikat dengan ruang dan waktu. Manusi mengada karena ada dalam  suatu situasi, dan ia akan semakin mengada bila ia semakin tidak hanya berfikir terhadap eksisitensinya tetapi juga bertindak secara kritis terhadapnya. Manusia muncul dari ketenggelaman mereka dan memperoleh kemempuan untuk melibatkan diri dalam realitas setelah ia tersingkap. Penyadaran adalah pendalaman dari sikap kesadaran yang menjadi ciri- ciri semua pemunculan.
Setiap penelitian tema yang mendalam kesadaran sejarah adalah sungguh-sungguh mendidik, sementara semua pendidikan sejati meneliti pikiran manusia. Semakin banyak pendidik dan rakyat meneliti pemikiran manusia, dan dengan bersama- sama mengalami pendidikan, maka semakin jauh mereka meneliti. Penelitian memulai melakukan kunjungan lapangan, tanpa bersikap memaksa, tetapi tampil sebagai pengamat yang simpatik dengan rasa pengertian terhadap apa yang dilihatnya.
Secara intrinsik, kontradiksi- kontradiksi ini merupakan situasi- situasi batas, yang melibatkan tema- tema, dan menunjukkan tugas- tugas. Bila seseorang terjabak didalamnya dan tidak dapat membedakan dirinya dari situasi- situasi batas ini, maka temanya dalam hubungan dengan situasi- situasi maka situasi- situasi ini disebut fatalisme, dan tugas yang terkandung di dalamnya adalah ketiadaan tugas. Dengan demikian sekalipun situasi- situasi batas adalah realitas obyektif yang menampakkan kekurangan- kekurangan pada pribadi- pribadi mereka harus meneliti tingkat kesadaran mereka dalam kondisi ini.
Masalah pokok yang dialami oleh peneliti adalah berkonsentrasi pada pengetahuan tentang pa yang disebut Goldmann” kesadaran nyata” dan “ kesadaran potensial”. Kesadran nyata adalah hasil dari berbagai hambatan dan penyimpangan yang oleh bebrapa faktor dalam relitas empiris dihadapkan kepada kesadaran potensial untuk diwujudkan. Kesadaran nyata mencakup ketidak mapuan untuk memahami ‘kemungkinan yang belum dicoba’ yang terletak di luar situasi batas.
Kesadaran potensial adalah  kemungkinan pemecahan yang belum diketahui, yang berlawanan dengan kemungkinan pemecahan yang diketahui, dan pemecahan masalah yang sekarang dipakai yang sesuai dengan kesadaran nyata.
            Setelah kodifikasi dipersiapkan, para peneliti mulai dengan tahap ketiga dari penelitian dengan kembali ke lapangan untuk membuka dialog pendadaran dalam “dalam kempok penelitian tema”  diskusi ini, yang mendadar bahan-bahan yang telah dipersiapkan pada tahap sebelumnya, direkam (dalam kaset) bagi keperluan analisa selanjutnya oleh kelompok antar disiplin. Di samping penelitian yang bertindak koordinator pendadar, dua spesialis yang lain yaitu seorang psikolog dan seorang sosiolog juga menghadiri pertemuan-pertemuan.
            Selam proses pendadaran. Koordinator tidak hanya harus mendengarkan para peserta tetapi juga memacu mereka, menghdapkan sebagi masalah baik situasi eksistensial yang telah dikodifikasi maupun jawaban-jawaban mereka. Setelah pendadaran kelompok selesai, tahap terahkir dari penelitian dimulai dengan, dengan dimulainya pengajian sistematis antar  disiplin oleh para peneliti terhadap perolehan-perolehan mereka.  Dari rekaman, pertemuan-pertemuan tdan kajian catatan dari psikolog dan sosiolog kemudian para prnrliti membuat daftar dari tema-tema yang terungkap atau tersembunyi dalam pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan selama pertemuan.
            Setelah garis besar (masing-masing) tema ditentukan, setiap spesialis mengajukan suatu rancangan kepada kelompok anatar disiplin untuk “ membedah” temanya sendiri. Selam uasaha membedah tema bermakna, kelompok kerja akan menemukan perlunya mncantumkan sejulah tema penting yang tidak secara langsung diungkapkan olek penduduk selama penelitian berlangsung.  Setelah pembedahan tema selesai kemudian menyusul tahap “kondifikasinya” yaitu memilih cara penyampaian terbaik bagi setiap tema serta penyajiannya.  Kelompok kerja dapat memlih sejumlah tema atau aspek bagi para ahli luar (kelompok) untuk dijadika topik dalam wawancara yang akan direkam. Sejumlah tema atau intinya dapat disajikan dengan cara singkat, yang hanya berisi temanya saja.
Bab IV
Manusia sebagai makhluk praksis, berbeda dengan binatang, yang merupakan makhluk sekedar berbuat. Binatang tidak memikirkan dunia, sedangkan manusia muncul dari dunia, mengenalinya, dan dengan cara itu dapat memahami dan mengubahnya dalam karya mereka. Binatang tidak akan melampui apa yang menjadi hidupnya.
Manusia melakukan aktivitas berupa tindakan dan refleksi atau hal ini disebut praksis dan ini adalah perubahan dunia.  Manusia  sebagai praksis memerlukan teoridalam meneranginya. Aktivitas manusia adalah teori dan praktek, itulah refleksi dan tindakan. Pernyatan Lenin juga menegaskan bahwa tanpa adanya teori revolusi tidak akan terjadi gerakan revolusi, jadi revolusi akan terlaksana dengan praksis yaitu dengan refleksi dan tindakan yang diarahkan pada struktur-struktur yang hendak diubah.  Usaha revolusioner dalam mengubah  tersebut tidak berarti menugasi para pemimpin sebagai pemikirnya dan kaum tertindas sebagai pelaksana saja. Para pemimpin juga tidak boleh memperlakukan kaum  tertindas hanya hanya sebagai kaum pelaksana dan tidak diberi kesempatan untuk berefleksi dan bertindak. Para pemimpin yang  menghalai kaum tertindas dari praksis berarti dia juga menggugurkan praksisnya sendiri.
Praksis revolusi harus berhadapan dengan praksis elit penguasa.  Praksis revolusi menolak bahwa praksis rakyat hanyasebagai pelasana keputasan dari para pemimpin. Praksis adlah suatu kesatuan, dan para pemimpin tidak dapat memperlakukan kaum tertindas sebagai miliknya. Dalam praksis revolusi tidak boleh adanya unsur-unsur praksis dominan.  Para dominator, untuk mendominasi harus menghalai praksis sejati dari rakyat, yaitu melarang rakyat untuk berpendapat dan antidialogis. Sedangkan para pemimpin revolusioner harus bertindak dialogis dalm berhubungan dengan rakyat.
Keikutan kaum tertindas adalah mutlak esensial dalam proses seiring semakin kritisnya kesadaran mereka sebagai pelaku dari perubahan.  Dalm hal ini mereka hendaknya tidak menjadi manusia mendua artinya separuh dirinya sendiri dan separuh adalah para penindas yang diserap dalm dirinya. Apabila mereka tidak sadar akan hal meduanya ditakutkan proses  revolusi yang terjadi sebagai ajang balas dendam dari para revolusioner. Sehingga revolusi sebagai cara mendapat kekuasaab, bukan sebagai jalan menuju kebebasan.
Kesulitan dan permasalahan lebih besar dihadapai pada kelompok pemimpin yang berusaha untuk melaksanakan revolusi bagi rakyar dari pada para pemimpi yang hendak mewujudkan humanisasi sejati. Dialog denga rakyat amatdiperlukan pda setiap revolusi sejati. Para pemimpi harus bertangunga jawab kepda rakyat, harus berbicara jujur kepada rakyat mengeanai pencapaian-pencapaiannya, kekurangannya, kesalahanya serta kesulitannya. Semakin cepat dialog yang dilakuka semakin murni gerakan revolusi tersebut.  Diolog yang amat penting adalah komunikasi karena pada dasarnya menusia adalah makhluk komunikatif.
Tindakan dan refleksi terjadi secara serentak, Refleksi kritis adlah juga tindakan. Sama berlakunya dengan tindakan revolusi, kaum tertindar dan para pemimpi revolusi sama-sama pelaku dari tindakan revolusi dan realitas berperab sebagai perantara bagi tindakan pengubah dari kedua kelompok itu.  dalam teori tindakan seseorang tidak dapat mengatakan dia sebagai seorang pelaku atau hanya para prlaku tetapi para pelaku salinga berkomunikasi, hal ini terlihat adanya persekutuan.
Revolusi tidak dilaksanakan baik oleh para pemmmpin untuk rakyat, tidak juga oleh rakyat untuk pemimpin, melainka untuk keduanya yang bertindak bersama-sama dalam solidaritas yang tidak tergoyahkan. Solidaritas lahir dari para pemimpin yang rendah hati, penuh kasih, berani. Revolusi sejati berusaha mengubah realitas yang melahirkan masalah-masalah yang menaifkan manusia.
Pandangan mekanis terhadap  realitas, membuat orang tidak ahwa situasi konkrit dari manusia mempengaruhi kesadaran mereka terhadap dunia, juga dapat menempatka sikap mereka dan cara mereka dalam berurusab dengan realitas. Tidak ada realitas historis yang tidak manusiawi. Tidak ada tanpa manusia, dan tidak ada sejarah untuk manusia. Ketika kaum mayoritas dirampas haknya untuk ikut serta dalm sejarah sebagi pelaku, artinya mereka didomonasi dan terasing.
Kepercayaan kepada aktivitisme sebagai jalan menuju revolusi, adalah suatu anggapan yang keliru. Manusia akan menjadi sunggu-sungguh kritis bila mereka hidup dalam dunia praksis. Pada kaum elit yang berkuasa mereka tidak lengah tanpa berpikir tentang rakyat. Dialo atau komunikasi yang dilakukan kaum elit dengan rakyat sesungguhnya bermaksud untuk meluluhkan rakyat. Walaupun kaum elit tidak bergabung dengan rakyat kaum elit tetap kuat karena bila mereka bersama akan melemahkan eksistensinya dan dapat melemahkan kekusaannya.  Namun tidak demikian dengan para pemimpin revolusi, bila mereka tidak berfikir dengan rakyat mereka akan lumpuh karena rakyat adalah sumber mereka yang bukan hanya sekedar objeknya untuk dipikirkan.
Dominasi hanya menhendaki satu kubu berkuasa dan satu kubu yang dukuasai. Namun pembebsan revolusioner mengatasi hal tersebut.  Dalam proses penindasan kaum elit diatas kaum tertindas dan menemukan kesejatian dirinya dalam hubungan vertikal antara mereka dengan kaum tertindas. Dalam proses  revolusi para pemimpin untuk mencapai kesejatian mereka harus mati dan terlahir kembali melalui dan bersam kaum tertindas.  Dalam proses revolusi  tidak boleh mengataka seseorang memebebaskan orang lain, tidak juga membebaskan dirinya sendiri, melainkan manusia dalm persekutuan membebaskan satu sama lain.
Dalam pendekatan yang dialakukan kaum elit kepada kaum tertindas selau berkedok kedermwanan palsu, sebaliknya pemimpin  revolusi tidaklah begitu. Kaum elit hidup menginjak kaun tertindas, namun pemimpin  revolusi hidup dalam persekuuan dengan rakyat. Ketidak manusiawian kaum penindas serte kemnusiawian revulusi keduanya memanfaatkan ilmu pengetahuan.  Bagi kaum penindas hal itu sebagi mereduksi manusia kapada status, sedangkan bagi pemimpin revolusi digunakan untuk memajukan humanisasi.
Revolusi humanisasi ilmiah tidak boleh, dengan  mengatas namakan revolusi, memperlakukan kaum tertindas sebagi objek untuk dianalisa dan diberi petunjuk untuk apa yang harus dilakukan, hal ini berarti jatuh dalam mitos. Para pemimpin revolusi yang ilmiah dan humanis, di lain pihak, tidak akan percaya kepada mitos mengenai kebodohan rakyat. Mereka tidak mempunyai hak untuk meragukan sedikitpun bahwa hal itu hanya sebuah mitos. Untuk berharap agar elit penindas meneka mitos yang memutlakkan kebodohan rakyar adlah naif, akan berarti kontradiksi dalm dirinya bila para pemimpin revolusi tidak berharap demikian, dan lebih kontradiksi lagi bila mereka bertindak sesuai dengan mitos tersebut.
Prose dialog memakan waktu yang panjang, maka mereka seharusnya melakuka revolusi tanpa komunikasi tetapi dengan mengeluarkan pernyataan-peryataan dan setelah revolusi dimenangkan, barulah mereka mengemabangkan pendidikan yang menyeluruh. Lalu membenarkan bahwa sebelum pendidikan dilaksanakan yang membebaskan sebelunya perlu adanya perbutan kekuasaan.  Sungguh-sungguh naif untuk mengharapakan elit penindasan melaksanakan pendidikan yang membebaskan.  Hal ini dikarenakan revolusi tanpa dapat ditawar lagi memiliki suatu watak pendidikan, dalm arti jika mereka tidak membebaskan maka ia bukan revolusi, maka perubutan kekuasaan hanya suatu peristiwa saja.
Revolusi lahir sebagi gejal sosioal dalm masyarakat penindas, sejauh ia merupakan aksi kebudayaan, maka ia tidak mungkin tidak terkaitan dengan ptensi-potensi dari wujud sosial dimana ia muncul.  Muncul dari kondisi objektif, revolusi berusaha untuk menggeser dari situasi penindasab dengan membangun suatu masyarakat manusia dalam proses pembebasab yang terus menerus.  Sifat mendidik dan dialogis dalm revolusi, yang juga menjadika suatu revolusi kebudayaan harus ada dalan setiap tahap-tahapnya. Seandainya dialog dengan rakyat sebelum pengembalian kekuasaan tidak mungkin dilakukan, karena mereka tidak memiliki pengalaman dalam dialog, maka juga tidak akan mungkin bagi rakyat untuk berkuasa, sebab mereka pun juga tidak berpebgalaman dalam menggunakan kekusaaan.
Dialog sebagai perjumpaan antara manusia untuk dunia, merupakan prasyatar dasar bagi humanisasi sejati mereka.
Penaklukan
            Watak pertama dari tindakan anti dialogis adalah keharusan adanya penaklukan. Manusia anti dialogis dalam berhubungan dengan manusia lain, bertujuan untuk menaklukan mereka. Setiap tindakan penaklukan melibatka sesorang penakluk dan seorang atau sesuatu yang ditaklukkan. Penakluk melaksanakan kehendaknya kepda mereka yang ditaklukan. Tindakan manusia yang memaksa manusia menjadi benda adlah necrofilis. Oleh karena membebaskan berwatak dialogis, maka dialog tidak mungkin bersifat a posteriori terhadap tindakan tersebut, melainkan harus seiring dengannya.  Jadi pembebsan harus dalm keadaan ajeg. Nafsu untuk menklukan senantiasa dalm tindakan antidialogis.
Keharusan bagi kaum penindas untuk mendekati rakyat agar dapt membuat mereka tetap pasif melalui penklukan.  Hal itu dilakukan dengan cara menbungkan mitos-mitos kaum penindas yang tidak terelakan bagi keberlangsungan status quo.
PECAH DAN KUASAI
Teori tindakan menindas yang seumur dengan penindasan itu sendiri . Setelah minoritas penindasan menaklukan dan menguasai mayoritas rakyat, mereka harus memecah belahnya dan menjaganya agar tetap terpecah supaya dapat terus berkuasa. Oleh karena itu kaum penindas mematahkan dengan segala cara (termasuk kekerasan). Konsep – konsep seperti halnya kesatuan, organisasi, dan perjuangan, seketika dicap berbahaya. Konsep ini memang berbahaya bagi kaum penindas, karena realisasi dari semua itu merupakan keniscayaan bagi aksi – aksi pembebasan.
            Untuk melemahkan kaum penindas, lebih lanjut mengumpulkan mereka, menciptakan dan memperdalam jurang pemisah diantara mereka. Dari metode penekanan melalui birokrasi pemerintah sampai pada bentuk – bentuk aksi kebudayaan dengan apa mereka memanipulasi rakyat, dengan memberi kesan bahwa yang terakhir diberi pertolongan.
            Dalam proyek – proyek pengembangan masyarakat, semakin suatu daerah atau wilayah dipecah menjadi masyarakat – masyarakat lokal, tanpa pengkajian terhadap masyarakat – masyarakat ini baik masing – masing sebagai totalitas tersendiri maupun sebagai bagian – bagian dari totalitas lain (daerah, wilayah, dan sebagainya), yang pada gilirannya merupakan bagian dari totalitas yang lebih besar lagi bagi bangsa, sebagai bagian dari totalitas kontinental
            Semakin jauh rakyat terasing, semakin mudah untuk memecah mereka, dan mempertahankan perpecahan itu. Kaum penindas tidak mau memajukan masyarakat secara keseluruhan, tetapi hanya para pemuka yang terpilih. Dan ada juga pertentangan kelas, pertentangan kelas adalah konsep lain yang merepotkan kaum penindas, karena mereka tidak ingin menganggap diri mereka sebagai kelas penindas.
            Efek pemecah yang lain terjadi dalam hubungan dengan yang disebut latihan – latihan kepemimpinan, yang mesti dilaksanakan tanpa maksud demikian dari para penyelenggaranya, pada babak terakhir mengasingkan. Latihan – latihan ini didasarkan pada anggapan naif bahwa orang dapat memajukan suatu masyarakat dengan melatih para pemimpinnya, seolah – olah bahwa bagian – bagianlah yang mengangkat keseluruhan dan bukan keseluruhan yang setelah diangkat, mengangkat bagian – bagian para anggota masyarakat tersebut yang memiliki bakat kepemimpinan yang cukup untuk disertakan ke dalam latihan itu niscaya mencerminkan dan mengungkapan aspirasi pribadi – pribadi dari masyarakatnya.
            Satu – satunya keserasian yang dapat berlangsung dan dibuktikan adalah yang terdapat diantara kaum penindas sendiri, meskipun mereka dapat berselisih jalan dan sesekali bertengkar mengenai kepentingan kelompok , mereka akan seketika bersatu dalam menghadapi ancaman terhadap kelasnya. Demikian pula, keserasian di antara kaum tertindas hanya mungkin jika para anggotanya terlibat dalam perjuangan bagi pembebasan.
            Semua tindakan kelas penguasa menunjuk kepada kepentingannya untuk memecah belah untuk memudahkan pelangsungan kedudukan penindas. Campur tangannya dalam serikat – serikat buruh, dengan merangkul wakil – wakil tertentu dari kelas tertindas yang sesungguhnya mewakili kaum penindas, bukan kawan – kawan mereka, mempromosikan orang – orang yang memiliki bakat memimpin dan dapat menjadi ancaman jika mereka tidak dijinakkan dengan cara ini. Memberi hadiah kepada orang – orang tertentu dan hukuman kepada yang lain, semua ini adalah cara memecah belah untuk melestarikan sistem yang menguntunkan kaum elit.
            Semua itu adalah bentuk tindakan yang memanfaatkan langsung atau tidak langsung, salah satu kelemahan dari kaum tertindas. Kerawanan inti mereka, kaum tertindas rawan dalam dualitas mereka sebagai orang yang menyerap penindas ke dalam dirinya. Di satu pihak mereka menentangnya, di lain pihak, pada tahap tertentu dalam hubungan mereka, mereka tertarik kepadanya. Dalam keadaan seperti ini, kaum penindas dengan mudah memperoleh hasil – hasil positif dari aksi pemecahan..
            Cepat atau lambat kaum tertindas akan menyadari dirinya yang tidak berkepribadian dan melihat bahwa selama mereka terpecah – pecah mereka senantiasa akan menjadi sasaran empuk bagi manipulasi dan dominasi. Kesatuan dan organisasi memungkinkan mereka mengubah kelemahannya menjadi suatu tenaga pengubah dengan apa mereka dapat menciptakan kembali dunia, menjadikannya lebih manusiawi.
            Karena kaum penindas dan kaum tertindas saling bertentangan, maka apa yang menguntungkan kepentingan satu kelompok berlawanan dengan kepentingan kelompok lain. Agar dapat memecah belah dan membingungkan rakyat, perusak menyebut dirinya pembangunan serta menuduh pembangunan sebenarnya sebagai merusak. Manusia – manusia yang pada zamannya menggalang persatuan bagi usaha pembebasan itulah pahlawan – pahlawan sebenarnya, bukan mereka yang menggunakan kekuasaannya untuk memecah lalu memerintah.
MANIPULASI
            Dengan cara manipulasi, elit penguasa berusaha membuat rakyat menyesuaikan diri dengan tujuan – tujuan mereka. Semakin rendah kesadaran politik rakyat (di desa atau kota) semakin mudah mereka dimanipulasi oleh mereka yang tidak ingin kehilangan kekuasannya. Melalui manipulasi, elit penguasa dapat menggiring rakyat kepada organisasi palsu, dan dengan demikian dapat menghindari alternatif yang mengancam organisasi murni dari rakyat yang telah sadar.
            Rakyat hanya memiliki dua kemungkinan dalam memasuki proses sejarah, apakah mereka berorganisasi secara murni bagi pembebasan dirinya, atau mereka akan dimanipulasi oleh kaum elit. Organisasi murni sudah tentu tidak akan ditumbuhkan oleh kaum penguasa ini merupakan tugas para pemimpin revolusi.
            Manipulasi, seperti halnya penaklukan yang tujuannya sama, berusaha untuk membius rakyat sehingga mereka tidak dapat berpikir. Sebab apabila rakyat dalam kehadiran mereka di dalam proses sejarah ikut serta berpikir kritis mengenai proses itu, maka ancaman pemunculan mereka akan terwujud melalui revolusi.
            Salah satu metode manipulasi adalah menanamkan citra rasa borjuis kepada orang – orang untuk mencapai sukses pribadi. Manipulasi ini kadangkala dilakukan secara langsung oleh kaum elit dan kadangkala tidak langsung, melalui para pemimpin populis. Para pemimpin ini bertindak sebagai penengah, antara elit oligarki dan rakyat. Pemunculan populisme sebagai suatu gaya dari aksi politik dengan demikian secara kausal beriringan dengan munculnya kaum tertindas. Pemimpin populis yang tampil melalui proses ini adalah makhluk mendua seekor “amphibi” yang hidup dalam dua alam. Pergi – pulang antara rakyat dan oligarki penguasa, ia mempunyai stempel lari dua golongan tersebut.
            Karena pemimpin populis hanya sekedar memanipulasi, bukan berjuang untuk organisasi rakyat sejati, maka gaya kepemimpinan hanya berbuat sedikit untuk revolusi, jika memang berbuat. Hanya meningkatkan sifat mendua dan tindakan mendua itu serta dengan memilih secara pasti untuk mengabdi kepada rakyat (dengan demikian tidak lagi sebagai populis), barulah ia benar – benar meninggalkan manipulasi serta membaktikan dirinya bagai tugas revolusi dari organisasinya.
SERANGAN BUDAYA
            Dengan cara halus ataupun kasar, serangan budaya dengan demikian selalu merupakan laku pelanggaran terhadap pribadi – pribadi dari kebudayaan yang diserang, yang kehilangan keaslian mereka atau menghadapi ancaman akan kehilangan hal itu.
            Dalam serangan kebudayaan hal yang esensial adalah jika mereka yang diserang kemudian melihat realitas dari sudut pandangan para penyerang dan bukan dari sudut pandangannya sendiri, karena semakin banyak mereka meniru para penyerang, akan semakin mantaplah kedudukan para penyerang tersebut.
            Semakin gencar serangan dilakukan dan semakin jauh mereka yang diserang terasing dari jiwa kebudayaan dan dirinya sendiri, maka semakin mereka ingin menjadi seperti para penyerangnya, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, berbicara seperti mereka. Suatu struktur sosial yang kaku dan menindas niscaya akan mempengaruhi pranata – pranata pengasuhan dan pendidikan anak dalam struktur tersebut.
            Serangan budaya di satu pihak merupakan alat dominasi, dan dilain pihak akibat dari dominasi. Dengan demikian, tindakan budaya dari seorang yang mendominasi seperti bentuk – bentuk lain tindakan antidialogis, disamping suatu kesenjangan dan telah direncanakan, adalah dalam arti lain merupakan suatu hasil dari realitas menindas. Contohnya, suatu struktur sosial yang kaku dan menindas niscaya akan mempengaruhi pranata – pranata pengasuhan dan pendidikan anak dalam struktur tersebut.
            Suasana dalam keluarga dilanjutkan di sekolah, dimana murid segera menemukan seperti dalam keluarga bahwa untuk memperoleh pengakuan mereka harus menyesuaikan diri dengan petunjuk yang telah ditentukan dari atas.
            Hubungan orang tua – anak dalam keluarga umumnya mencerminkan kondisi kebudayaan obyektif dari struktur sosial sekitarnya. Jika kondisi yang menyusup ke dalam keluarga otoriter, kaku, serta mengekang, maka keluarga akan meningkatkan suasana penindasan.
            Para pemimpin, yakin bahwa misi mereka adalah untuk memberi pengetahuan dan teknik kepada rakyat, mereka menganggap dirinya pemimbing rakyat. Program – program dari gerakan mereka yang mungkin telah digariskan oleh ahli teori yang baik dalam gerakan menindas, mencakup tujuan – tujuan, keyakinan, serta alam pikiran sendiri. Mereka tidak mendengarkan rakyat, melainkan justru merencanakan untuk mengajar mereka bagaimana cara membuang kemalasan yang mengakibatkan keterbelakangan.Mereka menganggap bahwa orang harus berkonsultasi dengan rakyat untuk menyusun isi program gerakan pendidikan. Mereka merasa bahwa kebodohan rakyat begitu tandas sehingga mereka tidak cocok untuk apapun kecuali menerima pelajaran dari para ahli.
            Revolusi kebudayaan, mengambil masyarakat secara total untuk direkonstruksi, termasuk semua aktivitas manusia, sebagai obyek aksi pencetakan kembali. Masyarakattidakdapatdirekonstruksisecaramekanistis, kebudayaan yang diciptakan kembali melalui revolusi adalah sarana dasar bagi rekonstruksi ini.Revolusi kebudayaan adalah usaha maksimum rejim revolusioner bagi penyadaran ia harus mencapai setiap orang, tanpa perhatikan jabatannya.
            Proses revolusi sebagai tindakan kebudayaan dialogis dilanjutkan dengan revolusi kebudayaan begitu kekuasaan diperoleh. Pada kedua tahap itu, usaha serius dan mendasar bagi penyadaran adalah keharusan. Ia merupakan sarana yang niscaya dengan apa manusia, melalui praksis sejati, meninggalkan kedudukannya sebagai obyek untuk berganti sebagai pelaku yang menyejarah.
            Akhirnya revolusi kebudayaan, mengembangkan praktek dialog ajeg Antara para pemimpin dan rakyat, serta memantapkan partisipasi rakyat dalam kekuasaan. Dengan cara ini, dalam para pemimpin dan rakyat melanjutkan aktivitas kritisnya, revolusi akan lebih mudah dapat mempertahankan dirinya melawan kecenderungan birokratis (yang mengarah pada bentuk – bentuk baru penindassan)
            Serangan budaya, yang melayani tujuan – tujuan penaklukan serta kelangsungan penindasan, selalu melibatkan pandangan terbatas terhadap realitas, pemahaman statis terhadap dunia, serta pembebanan suatu pandangan dunia terhadap yang lain. Ia mencakup superioritas penyerang dan inferioritas mereka yang diserang, disamping pembebanan nilai – nilai oleh pihak pertama, yang memiliki pihak kedua serta takut akan kehilangan mereka.
            Manusia, diantara makhluk – makhluk yang tidak sempurna, adalah satu – satunya yang berkembang. Bila kita menganggap masyarakat sebagai suatu makhluk, maka jelaslah bahwa hanya masyarakat yang merupakan makhluk untuk dirinya saja yang dapat berkembang.
            Sangat esensia luntuk tidak mengacauka nmodernisasi dengan perkembangan. Yang pertama, sekalipun mungkin ia menyentuh kelompok – kelompok tertentu dalam masyarakat satelit, hampir senantiasa digalakkan dan masyarakat metropolitan adalah yang sesungguhnya menarik keuntungan. Suatu masyarakat hanya dimodernisasi tanpa berkembangakan terus sekalipun ia menerima sebagian wewenang keputusan, tergantung yang manapun, selama ia tetap tergantung.
            Untuk menentukan apakah suatu masyarakat berkembang atau tidak, orang harus melampaui kriteria yang berdasarkan indeks – indeks pendapatan per capita maupun yang berintikan pada telaah pendapatan kotor. Kriteria yang pokok dan dasar ia adalah apakah masyarakat itu merupakan makhluk untuk dirinya atau bukan. Jika bukan, maka semua kriteria yang lain menunjuk pada modernisasi dan bukan perkembangan.
            Para pemimpin revolusi tidak boleh menggunakan cara - cara antidialogis yang sama yang digunakan oleh kaum penindas, sebaliknya para pemimpin revolusi harus mengikuti jalan dialog komunikasi.
Kasus pertama pelekatan sebagian rakyat pada kaum penindas tidak mungkin bagi mereka untuk menemukan  si penindas diluar diri mereka. Kasus kedua mereka dapat menemukan si penindas dan dapat mengenali secara kritis hubungan antagonis mereka dengannya. Sangat tidak mungkin rakyat yang tidak percaya diri, terinjak dan tidak berdaya ini akan memperjuangkan pembebasan dirinya.
KERJASAMA
Dalam tindakan antidialogis penaklukan yang melibatkan seorang pelaku yang menaklukkan orang lain. Sedangkan dalam teori tindakan dialogis tidak melibatkan suatu pelaku yang menguasai oleh karena menaklukkan, tetapi malah sebaliknya disana terdapat pelaku-pelaku yang berkumpul untuk menamai dunia dan mengubahnya. Kerjasama sebagai suatu cirri dialogis hanya dsapat dicapai melalui komunikasi oleh pelaku-pelakunya. Dialog sebagai komunikasi essensial harus mendasari kerjasama.
Dialog tidak memaksa, memanipulasi, menjinakkan dan juga tidak berslogan. Pengabdian kaum pemimpin revolusi kepada kaum tertindas merupakan pengabdian kepada kebebasan. Oleh karena pengadian itu, maka revolusi harus memperoleh dukungan dari mereka. Dukungan sejati adalah kesamaan pilihan secara bebas; itu tidak akan terjadi tanpa komunikasi antar manusiua degan perantaraan realitas.
Dengan demikian kerjasama mengarahkan pelaku-pelaku dialog untuk memusatkan perhatian pada realitas yang mengantarai ataupun menentang mereka. Kepercayaan sangat penting dalam dialog tapi ia bukan sebagai a priory. Kerendahan hati dan kemampuaannya dntuk mencintai dari pemimpin inilah yang akan menjadi sebuah persekutuan dengan rakyat. Dan persekutuan dialogis inilah yang akan menjadi kerjasama.
Dalam persekutuan dialogis revolusi manapun tidak biasa mengesampingkan persekutuan dengan rakyat. Persekutuan akan melahirkan kerjasama yang akan membawa pemimpin dengan rakya kepada penggabungan. Penggabumngan ini hanya dapat trerjadi jika aktifitas revolusi benar –benar manusiawi, empatik penuh cinta komunikatif dan rebdah hati agar mampu membebaskan.
PERSATUAN UNTUK PEMBEBASAN
Untuk menciptakan persatuan diantara kaum tertindas maka, memerlukan suatu bentuk aksi kebudayaan yang akan membuat mereka mengetahui mengapa dan bagaimana mereka melekat kepada realitas. Persatuan kaum tertindas pasti memerlukan adanya kesadaran kelas disebabkan, persatuan kaum tertndas menyangkut solidaritas diantara mereka, tanpa memedulikan kedudukan mereka masing-masing. Mereka biasaynya berakhir pada batas-batas pertanian yang terkurung oleh alam, tetapi kini mereka menyadari bahwamereka tidak dapat lagi terus menerus menjadi”benda” milik orang lain; dan mereka dapat beralih kesadran mengenai dirinya sebagai pribadi-pribadi tertindas kepada kesadaran suatu kelas tertindas.
Agar kaum tertindas dapat bersatu, mereka harus lebih dahulu memotong tali pusar magi dan mitos yang mengikat mereka dengan dunia penindasan. Metode-metode yang digunakan untuk mewujudkkan kaum tertindas akan tergantung kepada pengalam sejarah dan eksitensial mereka sendiri didalam structural social.
ORGANISASI
Dalam teori tindakan dialogis organisasi rakyat merupakan lawan antagonis dari manipulasi usaha menaklukkan dan menguasai, usaha para pemimpin dalam hal persatuan adalah niscaya juga suatu untuk mengorganisasi rakyat, yang menuntut kesaksian bagi perjuangan bagi pembebasan adalah tugas bersama. Agar dapat menentukan apa danbagaimana  dari kesaksia itu, maka sangat penting untuk memiliki pengetahuan yang sangat kritis mengenai konteks sejarah yang sedang berlangsung, pandangan dunia yang dianut rakyat, kontra diksi yang dianut masyarakat, serta aspek utama dari kontradiksi itu.
Kesaksian, dalam teori tindakan dialogiss. Adalah suatu dari penjelmaan utama dari aspek kebudayaan dan pendidikan dari evolusi. Unsure-unsur essensial dari kesaksian yang tidak berbeda sepanjang sejarah, mencakup: konsitensi, tekad, dan radikalisasi. Oleh karena kesaksian bukan isyarat  abstrak, melainkan tindakan, maka itu bersifat statis yang menjadi bagian lingkungan masyarakat dimana dia berada. Dalam tindakan dialogis kesaksian yang penuh cvinta melayani tujuan-tijuan organisasi. Mengorganisasi rakyat adalah dimana proses pemimpin revolusi, yang juga dihambat oleh perkataannya sendiri, mengawali belajar bagaimana menamani dunia.  Teori tindakan dialogis menentang baik otoritarianisme maupun kebebasan penuh. Otoritas otentik terwujud melalui penyerahan atau peletakan simpatik. Dalam tindakan dialogis, organisasi menuntut otoritas, hingga ia akan menjadi otoriter .
SINTESA KEBUDAYAAN
Aksi kebudayaan dialogis mempunyai sasaran yakni mengatasi berbagai kontradiksi antagonistis dalam struktur social tersebut, yang dengan demikian mencapai kebebasan manusia. Anti-dialogis dengan jelas atau tersamar bertujuan untuk memperthankan pemitoisan kontradiksi, didalam struktur social iitu situasi yang menguntungkan orang-orangnya. Sintesa kebudayaan merupakan suatu tindakan untuk mengatasi budaya itu sendiri, aksi kebudayaan sebagai aksi sejarah adalah sarana untuk menggeser kebudayaan kaum terasing ataupun mengasingkan. Dalam arti inilah revolusi sejati adalah revolusi kebudayaan. Dalam sintesa kebudayaan terdapat kemungkinan untuk mengatasi kontediksi antara pandangan dunia para rakyat dengan pandangan dunia pemimpin yang akan memperkaya keduannya.


NgeTech

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Post a Comment

 
biz.